Perlakuan penjajah Belanda tentunya berbeda terhadap ketiga lapis masyarakat tersebut. Etnis Eropa tentunya mendapatkan keistimewaan dalam setiap urusannya, etnis timur jauh hanya boleh berdagang dan masih mendapatkan akses pendidikan, dan bumi putra menjadi pekerja kasar dengan akses pendidikan yang sangat terbatas. Hanya penduduk pribumi yang berasal dari kalangan ningrat saja yang memiliki akses Pendidikan sampai ke perguruan tinggi, sedangkan pribumi kelas bawah, cukup hanya diberi pelajar menulis, membaca, berhitung, bahkan ada yang buta huruf.
Pasca Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari ratusan suku bangsa. Kasus atau masalah yang terkait SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan) menjadi tantang yang serius bagi bangsa ini karena sangat sensitif. Kerusuhan Mei 1998 yang meruntuhkan rezim orde baru disertai dengan konflik yang bersifat rasial, khususnya  terhadap etnis Tionghoa. Ribuan etnis Tionghoa diduga menjadi korban kerusuhan dan banyak yang terpaksa mengungsi ke luar negeri.
Tahun 1998-2001 terjadi kasus kerusuhan Poso yang dipicu konflik antara kelompok Islam dan Kristen. Tahun 1999 terjadi kerusuhan Maluku khususnya di Halmahera dan Ambon yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen. Tahun 2001 pernah terjadi kerusuhan di Sampit Kalimantan Tengah antara warga pendatang asal Madura dengan warga asli Dayak.
Selain kasus kerusuhan, saat ini pemerintah dan aparat TNI-POLRI pun sedang menghadapi Kelompok Bersenjata yang menginginkan papua merdeka. Oleh karena itu, ada yang menduga kerusuhan tersebut diduga ditunggangi oleh kelompok yang menginginkan Papua dan Papua Barat lepas Indonesia. Selain tuntutan kemerdekaan papua, kasus kerusuhan Papua dan Papua Barat pun dikaitkan dengan isu-isu lain seperti pelanggaran HAM, keadilan, dan kesejahteraan untuk masyarakat Papua dan Papua Barat.
Berkaca dari sejarah negara-negara di dunia seperti Uni Soviet dan Yugoslavia yang bubar karena masalah ras, agama, dan politik, tentu kita berharap Indonesia tetap utuh. Indonesia telah kehilangan Timor Timur melalui referendum tahun 1999. Papua, Papua Barat, atau daerah-daerah lainnya jangan sampai lepas atau memisahkan diri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam konteks pendidikan, menurut saya, salah satu upaya untuk menolak rasisme adalah melalui pembelajaran Higher Order Thinking Skills (HOTS) pada mata pelajaran yang relevan seperti PPKn, sosiologi-antropologi, sejarah, pendidikan agama, dan bahasa Indonesia. Melalui pelajaran-pelajaran tersebut diajak oleh guru untuk senantiasa berpikir dan membangun visi sebagai satu satu bangsa yang majemuk berlandaskan kepada empat pilar kebangsaan, yaitu ; Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Secara konseptual, pembelajaran HOTS siswa untuk berpikir kritis, berpikir kritis, dan menyelesaikan masalah, termasuk masalah-masalah kebangsaan, khususnya yang terkait dengan SARA. Selain aspek pengetahuan dan keterampilan, proses pendidikan juga menitikberatkan kepada aspek sikap, diantaranya adalah mau menerima perbedaan ras dan warna kulit sebuah sebuah sunnatullah. Dan hal ini justru harus disikapi sebagai keanekaragam yang menjadi keunikan sekaligus kekuatan bagi bangsa Indonesia.
Sejak dini, pada diri anak-anak ditanamkan toleransi, solidaritas, saling menghormati, dan saling menghargai. Negara ini didirikan oleh para pendiri bangsa juga terdiri dari beragam etnis, ras, dan golongan. Melalui Pembelajaran HOTS, siswa didorong untuk kritis menerima sebuah informasi, tidak mudah terprovokasi atau terpengaruh hoaks termasuk rasisme sehingga keutuhan NKRI tetap terjaga.