Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menolak Rasisme Melalui Pembelajaran HOTS

23 Agustus 2019   00:55 Diperbarui: 23 Agustus 2019   01:05 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

MENOLAK RASISME MELALUI PEMBELAJARAN HOTS

Oleh:

IDRIS APANDI

(WI LPMP Jabar, Penulis Buku Strategi Pembelajaran Aktif Abad 21 dan HOTS)

Saat ini keutuhan NKRI sedikit terganggu dengan adanya kerusuhan di Fakfak, Sorong, dan Manokwari (19/08/2019) serta Mimika (21/08/2019). Kerusuhan tersebut dipicu oleh ucapan rasis oknum tertentu terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Aksi unjuk rasa dan aksi solidaritas pun muncul bukan hanya di Papua dan Papua Barat, tetapi di cukup banyak daerah karena mahasiswa asal Papua tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

Seruan damai di Papua dan Papua Barat disampaikan oleh pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat papua. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Walikota Surabaya telah meminta maaf terhadap adanya tindakan rasis membuat warga Papua dan Papua Barat sakit hati dan tersinggung. Presiden Joko Widodo pun telah menginstruksikan menteri-menteri terkait dan Kapolri untuk mengamankan suasana dan menangkap penyebar hoaks dan provokator kerusuhan Papua dan Papua Barat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata rasial diartikan sebagai berdasarkan (bersifat) ciri-ciri fisik ras, bangsa, suku bangsa, dan sebagainya (seperti warna kulit, rambut, dan sebagainya), sedangkan rasialis diartikan yang mempertahankan perbedaan (dalam politik, sosial, ekonomi) ras, suku, bangsa, hak suku-suku bangsa; orang yang menganut paham rasialisme.

Kasus rasial sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi dunia. Rasisme disebabkan oleh beberapa hal, seperti politik dalam hal ini kebijakan penguasa, sejarah, dan kesenjangan sosial. Amerika Serikat sebagai negara yang dikenal sebagai kampiun demokrasi dan HAM pernah dilanda rasisme. Bahkan presiden Amerika Serikat Donald Trump diprotes karena cuitan rasismnya di Twitter. Meski tidak menyebut nama secara langsung, Trump mencuit sejumlah anggota kongres perempuan fraksi Demokrat yang dianggap warga keturunan lebih baik angkat kaki ke negara asal mereka. Hal itu dilakukan setelah Dewan Perwakilan mengkritik kondisi fasilitas umum yang tersedia di perbatasan AS untuk menampung para pendatang gelap yang ditangkap.

Kasus-kasus kerusuhan, pergolakan, perlawanan, hingga perpecahan sebuah negara terjadi di beberapa negara di benua Afrika seperti di Afrika Selatan (politik apartheid), Kongo, Burundi, dan Sudan. Kasus muslim Rohingnya di Myanmar, kasus Kashmir antara pemerintah India dan Pakistan, dan perang antarsuku di Papua New Guinea menjadi contoh bagaimana soal ras, agama, politik bisa menjadi sumber perpecahan dalam sebuah negara.

Rasisme bukan hanya terjadi pada dunia politik, tetapi juga pada dunia oleh raga kehususnya sepak bola utamanya menimpa terhadap pemain-pemain sepak bola yang berkulit hitam. Edgar Davids, Mario Ballotelli, Samuel Eto'o, Kevin-Prince Boateng, Anton Ferdinand, dan Dani Alves adalah nama-nama pemain sepak bola terkenal yang pernah mendapat perlakuan rasis dari supporter tim lawan.

Rasisme sudah ada di zaman kolonial Belanda. Saat itu, mereka membagi warga yang tinggal di Batavia menjadi tiga golongan, yaitu golongan eropa (Belanda, Inggris, dan negara eropa lainnya), golongan timur jauh (Tionghoa dan Arab), dan bumi putera, yaitu penduduk pribumi.

Perlakuan penjajah Belanda tentunya berbeda terhadap ketiga lapis masyarakat tersebut. Etnis Eropa tentunya mendapatkan keistimewaan dalam setiap urusannya, etnis timur jauh hanya boleh berdagang dan masih mendapatkan akses pendidikan, dan bumi putra menjadi pekerja kasar dengan akses pendidikan yang sangat terbatas. Hanya penduduk pribumi yang berasal dari kalangan ningrat saja yang memiliki akses Pendidikan sampai ke perguruan tinggi, sedangkan pribumi kelas bawah, cukup hanya diberi pelajar menulis, membaca, berhitung, bahkan ada yang buta huruf.

Pasca Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari ratusan suku bangsa. Kasus atau masalah yang terkait SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan) menjadi tantang yang serius bagi bangsa ini karena sangat sensitif. Kerusuhan Mei 1998 yang meruntuhkan rezim orde baru disertai dengan konflik yang bersifat rasial, khususnya  terhadap etnis Tionghoa. Ribuan etnis Tionghoa diduga menjadi korban kerusuhan dan banyak yang terpaksa mengungsi ke luar negeri.

Tahun 1998-2001 terjadi kasus kerusuhan Poso yang dipicu konflik antara kelompok Islam dan Kristen. Tahun 1999 terjadi kerusuhan Maluku khususnya di Halmahera dan Ambon yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen. Tahun 2001 pernah terjadi kerusuhan di Sampit Kalimantan Tengah antara warga pendatang asal Madura dengan warga asli Dayak.

Selain kasus kerusuhan, saat ini pemerintah dan aparat TNI-POLRI pun sedang menghadapi Kelompok Bersenjata yang menginginkan papua merdeka. Oleh karena itu, ada yang menduga kerusuhan tersebut diduga ditunggangi oleh kelompok yang menginginkan Papua dan Papua Barat lepas Indonesia. Selain tuntutan kemerdekaan papua, kasus kerusuhan Papua dan Papua Barat pun dikaitkan dengan isu-isu lain seperti pelanggaran HAM, keadilan, dan kesejahteraan untuk masyarakat Papua dan Papua Barat.

Berkaca dari sejarah negara-negara di dunia seperti Uni Soviet dan Yugoslavia yang bubar karena masalah ras, agama, dan politik, tentu kita berharap Indonesia tetap utuh. Indonesia telah kehilangan Timor Timur melalui referendum tahun 1999. Papua, Papua Barat, atau daerah-daerah lainnya jangan sampai lepas atau memisahkan diri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dalam konteks pendidikan, menurut saya, salah satu upaya untuk menolak rasisme adalah melalui pembelajaran Higher Order Thinking Skills (HOTS) pada mata pelajaran yang relevan seperti PPKn, sosiologi-antropologi, sejarah, pendidikan agama, dan bahasa Indonesia. Melalui pelajaran-pelajaran tersebut diajak oleh guru untuk senantiasa berpikir dan membangun visi sebagai satu satu bangsa yang majemuk berlandaskan kepada empat pilar kebangsaan, yaitu ; Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Secara konseptual, pembelajaran HOTS siswa untuk berpikir kritis, berpikir kritis, dan menyelesaikan masalah, termasuk masalah-masalah kebangsaan, khususnya yang terkait dengan SARA. Selain aspek pengetahuan dan keterampilan, proses pendidikan juga menitikberatkan kepada aspek sikap, diantaranya adalah mau menerima perbedaan ras dan warna kulit sebuah sebuah sunnatullah. Dan hal ini justru harus disikapi sebagai keanekaragam yang menjadi keunikan sekaligus kekuatan bagi bangsa Indonesia.

Sejak dini, pada diri anak-anak ditanamkan toleransi, solidaritas, saling menghormati, dan saling menghargai. Negara ini didirikan oleh para pendiri bangsa juga terdiri dari beragam etnis, ras, dan golongan. Melalui Pembelajaran HOTS, siswa didorong untuk kritis menerima sebuah informasi, tidak mudah terprovokasi atau terpengaruh hoaks termasuk rasisme sehingga keutuhan NKRI tetap terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun