Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Adakah Calon Kepala Daerah Pro Pendidikan?

15 Januari 2018   17:36 Diperbarui: 15 Januari 2018   17:44 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ADAKAH CALON KEPALA DAERAH PRO PENDIDIKAN?

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

Pertanyaan tersebut mungkin terlalu retoris, karena pertanyaan tersebut jika diajukan kepada calon kepala daerah, pasti jawabannya adalah "saya pro pendidikan. Oleh karena itu, pilihlah saya pada saat pemungutan suara." 

Guru sebagai salah satu pemilih yang potensial untuk meraup suara didekati dan dijanjikan akan semakin disejahterakan, fasilitas pendidikan akan diperbaiki, walau dia sendiri belum tentu tahu dan menguasai persoalan mendasar yang dihadapi oleh dunia pendidikan, bagaimana mekanisme manajemen guru, penganggarannya, dan sebagainya. Yang penting janji dulu pro pendidikan supaya dipilih.

Sejumlah persoalan mendesak yang dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini, antara lain (1) peningkatan profesionalisme guru, (2) jaminan perlindungan guru, (3) penyediaan guru, (4) pengelolaan guru honorer, dan (5) pemenuhan sarana dan prasarana sekolah yang memenuhi standar nasional, dan (6) pengelolaan kenaikan pangkat guru yang cepat sederhana, mudah, dan murah.

Walau secara nasional kebijakan masalah pendidikan diatur oleh Kemdikbud, tapi secara teknis urusan pendidikan merupakan salah satu hal yang pengelolaannya diserahkan ke daerah. 

Dengan kata lain, peningkatan mutu pendidikan berada pada pundak pemerintah daerah. Dan hal ini yang kadang kala tidak nyambung. Gonta-ganti kepala daerah menyebabkan kebijakan peningkatan mutu pendidikan tidak ajeg dan berkelanjutan, tetapi disesuaikan dengan "selera" kepala daerah yang berkuasa. 

Oleh karena itu, kadang urusan pendidikan terkena dampak politisasi. Aparat birokrasi yang mengelola pendidikan kadang kala dijabat bukan orang paham urusan pendidikan, tetapi lebih kepada balas budi politik. Misalnya, Kepala Dinas Pendidikan bisa saja diisi oleh mantan Kepala Dinas Pemakaman dengan alasan tour and duty.

Pada bagian lain, ada kebijakan pemerintah pusat yang kurang mendapat dukungan yang optimal dari pemerintah daerah. Kepala daerah membuat aturan sendiri dan tumpang tindih dengan aturan pemerintah pusat. 

Dan guru-guru di daerah lebih takut terhadap aturan pemerintah daerah daripada aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Misalnya pada implementasi sistem penjaminan mutu di sekolah. Apakah kepala daerah  mengetahui  hal ini?  

Apakah Tim Penjaminan Mutu Pendidikan Daerah (TPMPD) memiliki komitmen yang sama untuk meningkatkan mutu pendidikan? sejauh mana pembinaan TPMPD  terhadap Tim Penjaminan Mutu Sekolah (TPMPS)? Sejauh mana koordinasi antar lini di lingkungan pendidikan di daerah? dan sebagainya.

Kadang UPT pemerintah pusat di provinsi begitu sulit untuk bisa menghadirkan kepada daerah atau kepala dinas pendidikan untuk duduk bersama dan membicarakan pembangunan pendidikan di daerah. Kegiatan lebih banyak diwakili oleh pejabat eselon di bawahnya, seperti Kabid dan Kasi, sedangkan kepala daerah atau Kepala Dinas tidak dapat menghadiri acara dengan berbagai alasan.

Saya sering mendapatkan keluhan dari guru di daerah tentang lambatnya pelayanan aparat birokrasi pendidikan, merasa dipersulit ketika kenaikan pangkat, merasa dipersulit dalam pengembangan karir, pungutan liar, dan sebagainya. Hal ini yang perlu diperbaiki dalam manajemen pelayanan pendidikan di daerah.

Kepala daerah sering menyuarakan tentang perlindungan guru, ingin memuliakan guru, dan sebagainya, tetapi kadang jauh asap dari api. Memang ada yang sudah memperlihatkan langkah-langkah nyata, berani mengambil terobosan, tapi masih banyak yang hanya sekedar retorika. 

Guru kadang bingung mencari perlindungan ketika berada dalam tekanan, guru bingung mencari tempat bertanya, tidak memiliki kepastian dalam pengembangan karir, sistem promosi dan mutasi kepala sekolah yang kurang jelas, sistem penilaian kinerja yang rawan dimanipulasi, dan sebagainya.

Menjelang pilkada, para insan pendidikan di daerah harus benar-benar jeli dalam menelusuri rekam jejak calon kepala daerah, jangan sampai menyesal di akhir kemudian. Pendidikan jangan hanya sekedar jadi alat kepentingan politik. 

Keberpihakan kepada dunia pendidikan jangan hanya sekedar pada saat jelang pemilu atau pemilukada saja, tapi memang sudah diperlihatkan jauh-jauh hari sebelum dirinya mencalonkan diri.

Idealnya ada orang pendidikan yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah supaya benar-benar paham kondisi pendidikan, tetapi karena faktor kekurangan "gizi" untuk pilkada dan minim dukungan parpol, maka bisa dikatakan orang pendidikan yang maju di pilkada sangat sedikit. Kebanyakan yang ikut maju di pilkada adalah para politisi, pengusaha, praktisi hukum, dan tenaga profesional lainnya.

Semua sudah mafhum bahwa pendidikan adalah kunci penting pembangunan bangsa, bahkan termasuk salah satu Indikator Pembangunan Manusia (IPM). Tinggal dibutuhkan berbagai langkah nyata untuk mewujudkannya. Semoga Pilkada 2018 melahirkan kepala daerah pro pendidikan. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun