Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengantisipasi Bahaya LGBT Melalui Budaya Literasi

9 Januari 2018   16:04 Diperbarui: 9 Januari 2018   23:00 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau disingkat LGBT sudah menjadi ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia. Maksud ancaman disini bukan orangnya, tetapi perilakunya. Kaum LGBT sudah semakin terang-terangan menunjukkan eksistensinya, bahkan tidak malu-malu mengakui sebagai kaum LGBT. Melalui berbagai media, mereka menyasar korban-korban baru, utamanya kalangan remaja dan pemuda.

Mereka membentuk organisasi dan meminta perlindungan kepada Komnas HAM agar keberadaan mereka diakui dihormati sebagai manusia. Negara pun diminta untuk memberikan perlindungan, karena mereka mengklaim sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dengan warga negara yang lainnya.

Sudah banyak kesaksian terhadap bahaya LGBT, baik yang disampaikan oleh ahli agama, psikolog, psikiater, dokter, maupun orang tua yang anaknya menjadi kaum LGBT, tetapi seolah hal tersebut belum menjadi perhatian serius. Hal ini disebabkan karena tren global khususnya Amerika dan Eropa yang liberal dan sekuler mendukung dan melindungi keberadaan kaum LGBT sebagai bentuk hak asasi manusia.

Berdasarkan kepada hal tersebut, maka para pemerhati dan kelompok yang peduli terhadap bahaya LGBT perlu merapatkan barisan untuk melawannya. Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan adalah melalui budaya literasi. Menurut saya, ada beberapa jenis literasi yang berkaitan dengan perlawanan terhadap penyebaran LGBT. Pertama, literasi agama. Maksudnya adalah perlunya penguatan nilai-nilai agama. Dalam ajaran agama Islam ditekankan bahwa Allah Swt. 

Menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan. Ada laki-laki dan ada perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki fitrah masing-masing. Keturunan hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kisah kaum Sodom yang mendapatkan azab Allah yang menolak dakwah Nabi Luth As. dan penyuka sesama jenis. Selanjutnya, Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan dan melampaui batas. Intinya, agama Islam dan mungkin agama-agama lain pun melarang LGBT.

Kedua, literasi psikologi. Maksudnya adalah penggunaan pendekatan psikologi untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak dididik dan diberikan ruang bermain sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya, jangan sampai anak laki-laki, tetapi diberikan mainan untuk anak perempuan, atau sebaliknya. Lingkungan bermain pun perlu dijaga, jangan sampai salah tempat. Anak laki-laki banyak bermain dengan anak perempuan, atau sebaliknya.


Jika ada yang telah masuk ke dalam kelompok LGBT, perlu diberikan pembinaan supaya mereka kembali menjadi manusia normal, sesuai dengan fitrahnya. Adalah benar LGBT perlu dirangkul, tetapi maksudnya, bukan diakomodir keberadaannya, tetapi justru diajak untuk sembuh, karena banyak psikiater dan dokter jiwa mengatakan bahwa termasuk masalah dan gangguan kejiwaan. Tetapi masalahnya, banyak kaum LGBT yang mengklaim sebagai orang sehat, bukan sebagai orang mengalami masalah kejiwaan.

Ketiga, literasi pendidikan seks dan kesehatan.Hubungan seks yang sesuai dengan norma adalah hubungan seks yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat oleh ikatan perkawinan dan dilakukan melalui alat kelamin yang seharusnya. Bukan dilakukan oleh sesama jenis dan pada saluran yang lain.

Walau pun di beberapa negara telah dilegalkan pernikahan sesama jenis, tetapi hal ini bukan berarti seks sehat dapat diterima. Selama ini seks sehat dimaknai sebagai seks yang aman. Oleh karena itu, kaum LGBT menggunakan alat pelindung seperti kondom. Meski demikian, seorang pakar mengatakan bahwa kondom tidak sepenuhnya aman. Bisa saja "jebol", dan pelakunya terkena penyakit kelamin. Sudah cukup banyak contoh dan kesaksian tentang penyakit kelamin dan kanker anus yang dialami pelaku LGBT.

LGBT menjadi salah satu sumber penyebaran virus HIV/AIDS, sebuah penyakit yang sampai dengan saat ini belum ada obatnya. Obat yang selama ini ada hanya sekedar untuk mengurangi penyebaran virusnya dan mengurangi derita pengidapnya, bukan mematikan sama sekali. Belum ada sejarah pengidap HIV/AIDS yang bisa disembuhkan. Pada umumnya berakhir denga kematian. Nauzubillaah.

Pemerintah dan LSM yang peduli terhuadap penyebaran HIV/ AIDS sudah banyak merilis data jumlah penderita HIV/AIDS yang berasal dari kaum LGBT. Meski demikian, para pelaku LGBT membela diri dengan mengatakan bahwa penyebaran HIV/AIDS bukan hanya berasal dari kalangan LGBT, tetapi ada juga yang berasal dari seseorang yang gonta-ganti pasangan dan melakukan seks yang tidak sehat, tetapi hal ini hanya bentuk pembelaan diri dan pembenaran terhadap perilaku menyimpang yang dilakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun