Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveller amatir. klick: www.nyambi-traveller.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesalingan, Aspek Kesuksesan Usaha Mikro yang Terabaikan

2 Februari 2023   10:06 Diperbarui: 2 Februari 2023   10:13 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Photo: Pngtree

Belakangan ini, konsep kesalingan, popular dalam kajian keislaman dengan istilah "Mubadalah". Secara bahasa, ia bermakna tukar menukar yang bersifat timbal balik antara dua pihak, dimana yang satu mengambil dari pihak lain. Kamus bahasa Indonesia mengartikan sebagai timbal balik antara kedua belah pihak yang saling berhubungan. Makna umumnya bernuansa pertukaran material dan perdagangan serta transaksional.

Dr. Faqihuddin, cendikiawan Islam, memaknainya dengan sesuatu bersifat nilai. Yaitu, saat seseorang bekerjasama dengan yang lain, dan mengungkapkan kebaikan dan orang itu menerimanya. Sebaliknya, lawan bicara juga mengungkapkan sesuatu kepadanya dan diterimanya. Itulah kesalingan (mubadallah). Begitupula kala seseorang tidak ingin dirinya mendapat keburukan, maka jangan berlaku buruk kepada orang lain (lihat, "Qiraah Mubadalah", oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, Lc., MA.).

Dalam konteks relasi gender, kesalingan berarti kemitraan dan kerjasama antara pria dan perempuan dalam berhubungan baik di rumah tangga dan kehidupan public (sumber: https://mubadalah.id/premis-dasar-perspektif-mubadalah/). Kedua belah pihak menjadi subyek. Berkat kesalingan, aktifitas perempuan dan laki-laki di rumah tangga hingga public tertata dengan baik dan proporsional.

Apa dampak kesalingan di aktiftas bisnis, terutama usaha yang banyak dijalani masyarakat Indonesia, yaitu usaha mikro atau sector informal ?

Situasi kemiskinan dan pandemi COVID-19 membuat pertumbuhan usaha mikro meningkat. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI (Kemen PP dan PA) mencatat dari 64 juta pelaku UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah), 99 % nya pengusaha mikro dan 50% lebih perempuan pelaku dan pengelola. Kementrian Kekuangan RI (Kemenkue) mencatat 53,76% UMKM yang dimiliki perempuan memiliki 97 persen karyawan perempuan yang berkontribusi 61 persen ekonomi Indonesia (sumber: https://money.kompas.com/read/2021/04/21/123000426/sri-mulyani--kontribusi-perempuan-ke-ekonomi-global-capai-12-triliun-dollar-as?page=all).

Usaha mikro dijalankan pelakunya dengan berbagai keterbatasan. Guna mendukung kemajuan usaha, pelaku harus mengelolanya dengan baik, terutama mengefesienkan pengeluaran. Seperti prinsip managmen usaha, memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan pengeluaran.

Untuk itu, semua aktor (di keluarga) terlibat dalam pengelolaan roda usaha untuk saling berkerja sama. Makanya, usaha mikro sering disebut sebagai bisnis keluarga. Sistem bisnisnya saling mempengaruhi dengan jalannya tata kelola keluarga. Sementara itu, keluarga dengan norma partriarkhi mendahulukan laki-laki dan menomorduakan perempuan.   

Artinya, meski menjalankan usaha, perempiuan tidak boleh meninggalkan tugas domistik. Karena tugas perempuan mengurus rumah tangga. Akhirnya perempuan mengemban "double burdon" atau beban berlebih saat menjalani usaha. Kala alat reproduksi perempuan berfungsi sesuai siklus alamiah (seperti datang bulan, hamil, melahirkan dsb), sejatinya kegiatan bisnis menyesuaikannya.

Di sinilah arti penting kesalingan dalam operasinaliasi usaha mikro. Kesalingan merupakan turunan dari nilai keadilan dan kesetaraan gender. Prinsip kesalingan penting diintegrasikan dalam seluruh rantai nilai usaha, khususnya di sector usaha mikro.  

Selain cerita ibu Sopiah, situasi pandemi COVID-19 memberikan kisah serupa. Studi berjudul, "Ora Obah, Ora Mamah (Studi Kasus Gender Pada Sektor Informal di Masa Pandemi Covid-19)", diterbitkan FES, Kemenko PMK dan Sri Institut, 2020, menggambarkan fleksibilitas peran kerja ekonomi perempuan dan laki-laki.  

"....setiap kegiatan yang dilakukan oleh perempuan selalu dilihat sebagai kegiatan "mengasuh" yang tidak memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun, pengalaman perempuan pekerja yang berpartisipasi dalam studi ini menunjukkan bagaimana dikotomi publik-privat tidak benar-benar berfungsi mengatasi dampak ekonomi dari pandemi. Strategi yang perempuan lakukan justru menunjukkan bahwa fungsi publik dan privat harus dilihat secara seimbang, sehingga keberlanjutan produktivitas ekonomi di tingkat keluarga dapat dikelola dengan baik. (h.72)".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun