Mohon tunggu...
Idlal Muhammad Fattan
Idlal Muhammad Fattan Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi, fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UMJ, peserta mata kuliah Filsafat dan Etika Komunikasi, Dosen pengampu Dr. Nurani Muksin, M.Si

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Suara Kritik Sosial dalam Lagu 'Bayar, Bayar, Bayar' Sukatani: Perspektif Filsafat dan Etika Komunikasi

31 Juli 2025   15:06 Diperbarui: 31 Juli 2025   15:05 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lagu "Bayar Bayar Bayar" dari band Sukatani, selain menjadi lagu yang menghibur, juga menawarkan kritik sosial yang kuat terhadap ketidaksetaraan di sektor publik Indonesia, khususnya terkait pungutan tidak sah yang melibatkan institusi kepolisian. Lirik lagu yang lugas namun berulang-ulang tersebut menggambarkan kenyataan pahit dari sebuah masyarakat di mana orang-orang harus membayar lebih untuk hal-hal yang seharusnya diberikan secara gratis atau adil. Menurut buku Dr. H. Aang Ridwan (2013), filosofi komunikasi memandang komunikasi sebagai proses yang terikat dengan tanggung jawab dan nilai moral, bukan sekadar menyampaikan pesan. Lagu Sukatani ini berfungsi sebagai alat komunikasi yang penting, mengekspresikan kekhawatiran masyarakat umum terhadap perlakuan buruk dan ketidakadilan sosial. 

Menurut teori komunikasi dari buku oleh Tommy Suprapto (2019), filsafat komunikasi menekankan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari komunikasi. Lagu "Bayar Bayar Bayar" secara ontologis merepresentasikan realitas sosial yang dialami oleh masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan, yang seringkali diabaikan oleh sistem kapitalisme dan birokrasi yang tidak jujur. Dari sudut pandang epistemologis, lagu ini mengkomunikasikan kesadaran sosial dan pengetahuan yang telah lama disembunyikan atau diabaikan oleh institusi pemerintah. Dalam hal estetika (aksiologis), lagu ini mewujudkan prinsip-prinsip moral yang menuntut kejujuran, keterbukaan, dan keadilan dalam pelayanan publik. Dengan pesan moralnya yang kuat untuk perubahan, lagu ini berfungsi sebagai alat kritik sosial sekaligus sebagai ciptaan artistik. 

Menurut Fajar Junaedi (2019), etika komunikasi di era digital sangat menekankan kewajiban komunikator untuk menyampaikan pesan yang adil, jujur, dan tidak merugikan pihak lain. Lagu "Sukatani", dengan liriknya yang lugas dan gaya punk yang agresif, mempertanyakan hegemoni kekuasaan yang korup dan meningkatkan kesadaran publik akan tindakan tidak bermoral yang merugikan masyarakat. Bayangkan sebuah lagu, liriknya tajam, nadanya menggugah. Nah, dalam konteks etika berkomunikasi, lagu semacam ini bukan sekadar hiburan. Justru, ini adalah bentuk ekspresi yang sangat penting dan sah dalam sebuah negara demokrasi.

 Kenapa penting? Karena lagu itu berani menyuarakan kebenaran dan menuntut keadilan sosial. Ibaratnya, lagu ini adalah pengeras suara bagi suara-suara yang mungkin selama ini terpinggirkan. Ia jadi semacam "alarm" yang membangunkan kita semua untuk peduli dan bertindak. Dalam sebuah demokrasi, di mana setiap orang berhak bicara, lagu ini adalah bukti nyata bahwa seni bisa jadi alat yang kuat untuk memperjuangkan hal-hal yang benar dan adil.. Faktanya, tekanan terhadap band dan penarikan lagu ini dari platform musik justru memicu diskusi tentang hak untuk kebebasan berbicara dan kemampuan untuk mengkritik masyarakat, dua hal yang sangat penting bagi komunikasi yang etis.

Lagu ini cukup kreatif, ia terus menggunakan kata "bayar" berulang kali. Ini bukan tanpa alasan, justru teknik ini jitu banget untuk memperkuat pesan kritiknya tentang masalah sosial dan bikin kita semua jadi lebih sadar. Nah, ini sejalan banget dengan pandangan filsafat komunikasi kalau mau pesannya sampai dan punya makna, bentuk dan isi pesan itu harus saling mendukung. Maka dari itu, lagu "Bayar Bayar Bayar" ini enggak cuma sekadar mengungkapkan rasa ketidakadilan, tapi juga menjelma jadi simbol perlawanan terhadap sistem yang korup dan enggak adil. Intinya, lagu ini adalah alat komunikasi yang menghubungkan pengalaman pribadi pendengar atau penciptanya dengan kesadaran komunal yang lebih umum. Pada akhirnya, ini menyoroti betapa pentingnya komunikasi sebagai senjata untuk perubahan sosial. 

Coba deh kita tengok lagu "Bayar Bayar Bayar" dari Sukatani. Lagu ini itu kayak cermin, jelas banget nunjukkin gimana musik bisa jadi "senjata" kritik sosial yang jitu khususnya kalau kita bedah pakai kacamata filsafat etika dan komunikasi. Jujur aja, lagu ini ngajak kita buat merenung lagi dalam-dalam gimana sih sebenarnya komunikasi, kebenaran, dan keadilan itu saling nyambung di tengah masyarakat kita? Penjelasan ini juga didukung sama pemikiran-pemikiran cemerlang dari Dr. Aang, Tommy Suprapto, dan Fajar Junaedi. Dari situ, kita jadi makin tau, kalau kritik sosial di lagu ini bukan cuma curhat ala seniman yang puitis. Lebih dari itu, ini adalah panggilan nurani yang kuat, sebuah seruan moral dan etis yang bikin kita mikir dan langsung bergerak pas melihat ketidakadilan sosial di depan mata. Dan yang tak kalah penting, lagu ini juga jadi pengingat manis buat kita betapa krusialnya menjaga kebebasan berekspresi karena ini salah satu pilar utama etika komunikasi yang menopang demokrasi dan keadilan sosial biar tetap tegak berdiri.  

Lagu "Bayar Bayar Bayar" dari Sukatani ini memang bukan sekadar lagu biasa, tapi semacam tamparan keras yang dibalut melodi dan lirik. Ia menjelma jadi cermin raksasa yang menunjukkan bobroknya ketidakadilan, terutama soal pungli di layanan publik. Bayangkan, lirik lirik yang diulang-ulang dan dibumbui hiperbola itu bukan cuma sekadar gaya. Itu adalah senjata ampuh yang digunakan Sukatani untuk menggedor kesadaran kita. Mereka ingin kita benar-benar merasakan betapa jengkelnya, betapa frustrasinya masyarakat yang terus-menerus diperas. Ini bukan cuma keluh kesah, ini adalah seruan kolektif yang membongkar praktik kotor di balik seragam resmi. Kita semua tahu, "pungutan liar" itu bukan lagi rahasia umum. Ia sudah jadi hantu menakutkan yang gentayangan di berbagai sudut pelayanan publik. Dari urus KTP sampai SIM, rasanya selalu ada "biaya tak terduga" yang harus dikeluarkan. Dan lagu ini, dengan segala kejujurannya, menarik tirai dan menunjukkan betapa ironisnya: layanan yang seharusnya jadi hak dasar, malah jadi ladang basah bagi oknum tak bertanggung jawab. 

Dengan segala keunikan lirik dan musikalitasnya, "Bayar Bayar Bayar" telah membuktikan diri sebagai media perlawanan yang cerdas. Ia menjadi megaphone bagi suara-suara rakyat yang terpinggirkan, yang mungkin sudah lelah berteriak tapi tak didengar. Sukatani, dengan keberaniannya, telah menciptakan sebuah karya yang tak hanya enak didengar, tapi juga tajam menghujam dan mengajak kita berpikir ulang tentang kondisi sosial dan politik di negeri ini. Lagu "Bayar Bayar Bayar" ini memang lebih dari sekadar alunan musik biasa. Dalam kacamata filsafat komunikasi, ia adalah cerminan jujur dari suara hati masyarakat yang merasa diabaikan, bahkan dipinggirkan.   

Mari kita lihat dari sudut pandang Lucien Goldmann dan bukunya Towards a Sociology of the Novel (1975). lagu ini bukan cuma sebagai karya seni, tapi sebagai manifestasi dari kesadaran kolektif sebuah kelompok sosial. Ini bukan sekadar keluh kesah individu, tapi representasi utuh dari realitas sosial dan ekonomi yang menjepit banyak orang. Bayangkan saja, lagu ini menjadi jembatan komunikasi yang menghubungkan pengalaman pahit pribadi misalnya saat berhadapan dengan pungli menjadi sebuah kesadaran sosial yang lebih luas. Ia menegaskan bahwa komunikasi itu bukan cuma tukar-menukar informasi. Jauh lebih dalam, ia adalah alat kritik yang ampuh dan penggerak perubahan sosial. Sinisme Politik di Era Digital Ketika Media Sosial Jadi mimbar rakyat tak bisa dimungkiri, lagu ini juga jadi simbol dari sinisme politik yang kini merebak, apalagi di media sosial. Dulu, mungkin kritik cuma bisa disampaikan dengan formal. Tapi sekarang budaya populer digital seperti lagu ini menjelma jadi kanal ekspresi yang powerful. Masyarakat, terutama di media sosial, memanfaatkan lagu ini sebagai wadah untuk melontarkan kritik pedas kepada elit dan institusi negara yang mereka anggap tidak berpihak pada rakyat. 

Di sini, media sosial punya peran yang sangat penting. Ia tidak hanya mempercepat penyebaran pesan lagu ini, tapi juga membuka ruang partisipasi politik yang jauh lebih luas. Dari sekadar "like" dan "share" hingga komentar yang tajam, masyarakat kini bisa ikut bersuara, berpartisipasi dalam diskusi, dan bahkan membentuk opini publik secara massal. Ini adalah bentuk demokrasi digital yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Jadi, bisa dikatakan, "Bayar Bayar Bayar" ini bukan hanya sekadar hits. Ia adalah fenomena komunikasi sosial-politik yang patut kita renungkan, sebuah gema perlawanan yang resonansinya kian kuat berkat kekuatan media sosial. 

kontroversi yang menyelimuti lagu "Bayar Bayar Bayar" ini khususnya sampai dicabut dari berbagai platform musik dan band Sukatani ditekan sungguh memicu debat serius tentang kebebasan berekspresi dan hak untuk bersuara lantang mengkritik sosial. Ini bukan cuma soal lagu, ini soal demokrasi kita. Para ahli hukum dan lembaga advokasi HAM pasti akan geleng-geleng kepala melihat kejadian ini. Bagi mereka, tindakan membungkam karya seni yang berisi kritik sosial itu justru mencerminkan ketidakpahaman mendalam terhadap esensi demokrasi. Bukankah kebebasan berekspresi itu adalah salah satu tiang pancang utama demokrasi, yang bahkan sudah dijamin undang-undang. Lagu "Bayar Bayar Bayar" ini, dalam kacamata mereka, adalah bentuk kebenaran yang disampaikan melalui media seni.  kritik ini bukan penghinaan semata kepada institusi. Justru, kritik seperti inilah yang bisa jadi rem agar institusi tetap berjalan di jalur yang benar dan tidak menyimpang. Intimidasi dan tekanan yang dialami Sukatani ini, sejujurnya, menimbulkan kekhawatiran besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun