Mohon tunggu...
Dhilal Ahmad
Dhilal Ahmad Mohon Tunggu... Buruh - Tidak Ada Keterangan

:)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tabir Post-Truth dan Ambiguitasnya

8 September 2020   22:48 Diperbarui: 13 September 2020   09:56 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Post-truth jika dianalogikan bak cuaca ekstrim buatan yang menyelimuti berbagai daerah diseluruh penjuru bumi, namun ia tidak memproduksi badai, hujan maupun petir melainkan hoax, ujaran kebencian, fitnah, manipulasi bahkan suatu ideologi yang mana produk tersebut diterima begitu saja oleh orang -- orang tanpa melalui fact check dan tabbayun. 

Korelasi post-truth dengan suatu ideologi pernah disinggung dalam "A Brief History Of Homo Sapiens" karangan Yuval Noah Hararri, tertulis disana bahwa keberadaan komunisme, kapitalisme, hak asasi dan kesetaraan tak lebih dari mitos yang memiliki sebuah nilai dan imaji yang mampu menyatukan beragam sapiens yang tidak saling mengenal kedalam satu ikatan perasaan kebersamaan. 

Dalam hal ini ideologi pada akhirnya hanya difungsikan sebagai alat politik sekelompok orang yang oleh Plautus diistilahkan Homo Homini Lupus dengan dalih sebagai legitimasi dalam meraih impian secara komunal. Padahal impian tersebut secara konstan berakhir hanya sebagai utopia dan melahirkan sejarah tragis.

Kendatipun fenomena yang diistilahkan sebagai post-truth baru ramai diperbincangkan utamanya pada awal tahun 2016 semasa referendum Brexit dan pilpres A.S hingga kalimat post-truth menjadi the word of the year, namun situasi serupa yang boleh jadi memiliki koherensi dengan kriteria post-truth pernah terjadi di Indonesia kurang lebih 55 tahun yang lalu yaitu peristiwa G30S PKI ketika PKI berhasil menanamkan impian kemerdekaan, berjualan isu kemiskinan dan sentiment anti-asing sehingga mampu menghimpun jutaan orang ke dalam sebuah wadah yang bernama partai.

Namun akhirnya, perjuangan massa yang ada dalam wadah tersebut berkakhir sia -- sia, mereka secara tidak sadar hanya dipaksa untuk bersepakat membantu sang pemimpin --DN. Aidit dan kawanannya-- untuk meraih impian hegemoniknya, atau contoh lainnya adalah mitos kemakmuran yang terjadi di Rusia, dimana gerakan komunisme yang dihelat oleh kaum Bolshevik hanya menghasilkan banyak korban jiwa. 

Maka sudah semestinya setiap orang membangun etosnya matang - matang agar fakultas akal budi bekerja dengan optimal dan bangunan emosi tidak gampang terbuai hal imajinatif yang substansinya hanyalah soal politis belaka.

"Cogito Ergo Sum"

"Aku berpikir, maka aku ada". Ujar Descrates

"De omnibus dubitandum!"

"Segala sesuatu harus diragukan!". Lanjut Descrates dengan gelagat yang mendesak.

Meragukan sesuatu adalah berpikir tentang sesuatu, dengan demikian kepastian suatu hal bisa diukur dengan sebaik mungkin. Walaupun dalam Le Doubte Methodique ini Descrates tidak secara khusus berkonsentrasi mengenai seperti apa kebenaran itu, namun bila kalimat ini ditanamkan dalam diri seseorang setidaknya bisa menjadi pereda cuaca ekstrim berjuluk post-truth tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun