Mohon tunggu...
Ida Yuhana Ulfa
Ida Yuhana Ulfa Mohon Tunggu...

Seseorang yang ingin terus belajar, pada siapapun, apapun, kapanpun, dimanapun,

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Siti Nurbaya 2011

21 Februari 2011   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"E...., maaf sebelumnya. Tapi kenapa sih dulu itu kamu berani-beraninya ngelamar aku. Padahal kamu kan tidak tahu track record ku seperti apa. Gimana kalau seandainya, ternyata dulu itu aku pernah pacaran, terus hamil di luar nikah, terus aku gugurkan. Emang kalau seperti itu kamu mau?" Aku langsung memancingnya dengan pertanyaan paling ekstrim. Aku masih ingat, dulu, aku dan teman-teman menyebutnya dengan permainan Tak Terkira, yaitu memancing seseorang dengan sebuah pertanyaan yang tidak pernah dia duga. Biasanya, jawaban menunjukkan sejauh mana pengetahuannya.

"La, kamu sendiri kok mau sama saya? Memang kamu tahu perilaku saya?" dengan tenang Culun menjawab, malah sambil tersenyum. Ihhh GR sekali dia. Padahal aku berharap mendapat jawaban yang lebih argumentatif.

"Dulu kamu hidup di pesantren berapa tahun?"

"Tidak lama, tidak sampai lebih dari seperempat waktu dari kehidupan yang akan kita jalani," tambah lama, tambah menjengkelkan saja nih orang.

"Kalau pacaran, jujur aku belum pernah. Tapi yang perlu kamu tahu aku tidak se'manis' anggapanmu, bahkan mungkin anggapan keluargaku sendiri. Kamu tahu, sudah lama aku meragukan ajaran Islam. Sebenarnya Tuhan itu ada nggak sih?" pada kalimat terakhir, sengaja ku pelankan suaraku untuk memberi kesan rahasia. Hahaha, pasti Culun kaget setengah mati mendengar statemenku.

"Masak? Wah bagus dong, saya malah bisa belajar banyak dari sampeyan." Upsss, orang ini sudah benar-benar gila.

"Kamu tahu fenomena ayam dan telur? Apa yang lebih dulu ada, ayamnya atau telurnya? Nah begitu pula hukum kausalitas. Segala sebab, pasti ada akibatnya. Sama dengan alam semesta, dia ada, karena ada yang menciptakan, yaitu Tuhan. Begitu juga, Tuhan tidak mungkin datang dengan sendirinya, Dia juga diciptakan. Tidak ada apapun yang abadi, kecuali keabadian itu sendiri." Culun memandang wajahku, tanpa berkedip. Rasain, aku yakin jurusku cukup manjur untuk membuat dia jengkel dan membenciku.

"Oh iya, begitu juga tentang Nabi Muhammad. Al Qur'an menyebutkan Nabi Muhammad itu Ummi, buta huruf, alias tidak bisa membaca dan menulis. Tapi siapa yang tahu kalau Ia benar-benar Ummi? Jangan-jangan Nabi Muhammad itu sangat cerdas, sehingga sebenarnya dia sendiri yang menciptakan Al Quran. Dan Ia bisa saja kan mengaku-aku Ummi agar pengikutnya benar-benar percaya bahwa yang mengangkat Rosul itu adalah Tuhan, bukan dirinya sendiri," merasa di atas angin, aku semakin semangat bermain kata. Ada dua kemungkinan, kalau si Culun tidak membenciku, bisa jadi dia malah terhegemoni olehku. Wiii..., asyik dong.

"Oke, jadi seperti ini," Culun merubah sikap duduknya, sepertinya dia menjadi lebih serius. "Yang pertama dan ini harus benar-benar sampeyan ingat adalah, selama sampeyan masih menggunakan paradigma rasionalitas dalam memandang sebuah ajaran, apapun itu agamanya, maka sampeyan tidak akan menemukan jawaban apapun kecuali paham sekularisme!" Culun memberikan tekanan yang dalam pada kalimat-kalimatnya. Mungkin biar dia ingin aku terpengaruh olehnya. Yahhh, meski aku akui, muqoddimahnya lumayan juga.

"Yang kedua, jelas bagi kami kaum santri, Allah itu ada karena kami MEYAKINI. Bumi, alam semesta dan seisinya, mutlak diciptakan oleh Allah, Dzat yang maha Abadi. Kalau tentang Nabi Muhammad, kok sampeyan masih mempertanyakan ke"Ummi" an beliau sih, memang sudah lupa sama pelajaran sejarah ya?" Culun mengerlingkan matanya, ih, mukaku jadi merah padam dibuatnya.

"Terakhir, sampeyan pasti ingat pelajaran dari kitab Al Hikam, karangan Ibnu Atho'illah :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun