"Uul itu bukannya malu Mbak, tapi masih belum tahu caranya, hahaha," setiap saat kakak-kakakku selalu menggodaku, tapi aku cuek bebek, tak menggubris. Pun, aku tidak pernah peduli dengan keberadaan dan apa yang si Culun lakukan di rumahku, aku terus berusaha mengulur waktu untuk menghindar dan bertemu dia.
Ku buka kalender. Baru tanggal 16. berarti cutiku masih 5 hari lagi. Sungguh membosankan, harus libur mengajar 2 minggu hanya untuk sebuah pernikahan yang tidak aku harapkan! Dan pagi itu, dengan semangat 45, aku ke pasar membelikan titipan kakak-kakakku yang daftarnya lumayan panjang. Wah mumpung di rumah lagi nggak mood, pasar bisa jadi jadi alternatif refereshing yang lumayan nih.
Sampai di rumah, loh kok sepi, kemana orang-orang? Kupanggil satu persatu tidak ada jawaban, hanya Culun yang duduk di ruang tamu sambil membaca koran.
"Kemana yang lain?" Seperti biasa, dingin dan singkat, bila terpaksa aku harus menyapanya.
"Tadi Bapak dan rombongan yang lain pergi ke kota, ngantar Mbak Dian pulang ke Surabaya."
Ha, semuanya, termasuk Bapak! Brengsek, pasti aku sudah di kerjai orang-orang. Aku segera ganti baju dan memutuskan main ke rumah Paklik.
"Dik, tidak sarapan dulu ?"
Hiiih, ngapain sih dia pake nanya segala, biasanya kalo aku tidak nanya, dia juga tidak ngomong. Aku menggeleng. Dan agar si Culun tidak lagi mengeluarkan suaranya, aku segera menuju ke ruang makan. Kulirik sekilas, loh, kok berani-beraninya dia menyusulku, duduk di sampingku dan ikut-ikutan makan denganku? Uh, aku langsung il fil, selera makanku tiba-tiba hilang. Tapi nasi terlanjur ada di piring, gengsi kalau aku meninggalkan meja tanpa alasan. Perasaanku semakin dongkol. Sekali lagi kulirik dia, lahap sekali, emang tadi belum sarapan apa? Ihhh, ngapain aku peduli sama dia.
Dan situasi seperti inilah yang paling aku benci, duduk, berdua, diam, tak ada yang lain. Tiba-tiba aku merasa asing dengan diriku sendiri, dulu, aku paling suka ngerjain anak-anak yang kuper dan pendiam di kampus, tapi sekarang, ah, kenapa jadi keadaan yang malah mengerjaiku?
"Kok nggak ikut?" ku pecah kesunyian, sekedar meneguhkan bahwa aku tidak mudah ditaklukkan suasana.
"Tadi sama Bapak di suruh nunggu di rumah," Culun menjawab santai. Sepi lagi. Aku berpikir keras mencari bahan pertanyaan yang tepat.