Mohon tunggu...
Ida Mursyidah
Ida Mursyidah Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Anak Usia Dini

Ibu guru yang gemar membaca, bahkan membaca segala kemungkinan terburuk, untuk menyiapkan mental. Senang menulis, walaupun belum pernah menulis buku solo dan tak akan mampu menulis takdir sendiri. Suka menyimak, meskipun suara hati kecil sering terabaikan. Kadang berbicara, jika memang waktunya tiba dan membawa manfaat bagi yang mendengar.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Buku, Refleksi Kebijaksanaan Bapak

27 Mei 2021   17:29 Diperbarui: 27 Mei 2021   17:46 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Rasanya tidaklah berlebihan jika saya sampaikan bahwa buku adalah refleksi kebahagiaan bagi saya. Buku telah mengantarkan berjuta rasa bahagia pada masa kanak-kanak. 

Pada masa itu bapak dan ibu berperan sebagai pengawal keaksaraan yang berhasil dengan gilang gemilang mengantarkan saya, kakak dan adik-adik untuk mencintai kegiatan membaca dan menulis. 

Ibu saya adalah guru pertama dan menjadi orang pertama yang mengenalkan saya kepada huruf demi huruf, latin maupun hijaiyah, bahkan sebelum saya terdaftar ke sekolah manapun. 

Setiap seusai Maghrib ibu rutin mengajak saya duduk berhadap-hadapan menekuni simbol-simbol yang biasa saya lihat pada buku-buku yang bertebaran seantero rumah, buku yang dibacakan nyaring kepada saya, buku yang didapat saat kunjungan ke toko buku, buku yang mendapat tempat di rak-rak buku rendah sehingga mudah dijangkau. Bahkan beberapa buku yang mendapat tempat sangat istimewa semi rahasia supaya anak-anak tidak bisa sembarangan mengaksesnya. Buku bacaan orang dewasa, sepertinya.

Belum lagi majalah dan surat kabar yang masing-masing memiliki segmen pembacanya di rumah kami. Ada majalah dan tabloid wanita untuk ibu, majalah tentang peternakan dan harian Poskota dan Kompas untuk bapak, majalah Bobo untuk anak-anak. 

Ada masa di mana majalah mingguan sudah tamat dibaca, saya jadi sangat iseng seraya menanti kantuk datang untuk kewajiban tidur siang. Majalah ibu dapat memuaskan dahaga hingga tiba majalah anak edisi terbaru tiba minggu selanjutnya. 

Ada kenangan yang sangat terpatri dalam ingatan saya tentang buku. 

Suatu malam bapak pulang kerja membawa sebuah dus mi instan. Wajah lelahnya tersamarkan wajah gembira. Bapak berseru memanggil anak-anaknya sesaat ia memasuki rumah, "Lihat, bapak bawa apa!" 

Kontan kami berempat menghambur mendekat. Berbekal gunting di tangan, kakak memutuskan tali rafia pengikat dus itu.

Seketika dus itu dibuka, saya memepik kegirangan. Di dalamnya bertumpuk komik memenuhi ruang di dalam dus. Saya memimpin kakak dan adik membongkar, mengeluarkan seluruh komik dan mulai membaca judul-judulnya. Komik asli Indonesia yang menampilkan tokoh-tokoh yang dinamai sama dengan tokoh pewayangan. Kami berpesta pora!

Setelah menikmati makan malam bersama, mengalirlah cerita dari mulut bapak bagaimana bapak mendapatkan harta karun malam itu. Malam itu bapak harus naik kereta api untuk pulang dari kantor. 

Di stasiun calon penumpang lumayan menumpuk karena memang bertepatan dengan jam pulang kantor. Ada sesosok bapak tua yang terlihat gelisah sambil menenteng dus mi instan yang bapak lihat sambil berjalan menjari tempat duduk sambil menunggu kereta tiba. Saat bapak sadar, semua tempat duduk sudah terisi semua, bapak memilih untuk berdiri di sebuah sudut dan bersandar ke dinding loket penjualan tiket kereta. 

Si bapak tua yang membawa dus kelihatan menghampiri beberapa orang. Berbicara sebentar, membuka dus, memperlihatkan isinya dan mendapatkan gelengan kepala. 

Sayang, bapak saya tidak dapat melihat isi dus. Ia kembali mengatakan sesuatu, namun kembali mendapatkan gelengan kepala. Lesu terlihat di wajah si bapak. Tak butuh waktu lama, giliran bapak saya dihampirinya. Bapak saya yang sejak tadi penasaran dengan apa yang ditawarkan menampilkan wajah yang berbeda dari ekspresi kebanyakan orang di sekitar. 

"Bawa apa, pak?' bapak mulai bertanya.

"Buku komik, pak. Mau saya jual", jawab si bapak tua.

Bapak diperlihatkan isi dus. Bapak mengaku langsung teringat kami, anak-anaknya di rumah.

Bapak tanya mau dijual berapa yang dijawab dengan nominal yang tidak banyak.

Kata bapak tua sejumlah itulah uang yang kiranya cukup untuk membawa cucunya berobat. Anak menantunya sudah meninggal dunia sehingga sang cucu berada dalam tanggungannya. 

Saat itu bapak mengaku tidak peduli apakah si bapak tua telah mengatakan hal yang sebenarnya tentang alasan menjual komik-komik di dalam dus. Yang bapak ingin hanya membawakan kejutan bagi anak-anaknya. 

"Sudah lama bapak tidak naik kereta. Sekalinya naik kereta, bapak bisa bawa pulang kejutan. Keren, kan!", senyum lebar bapak mengakhiri kisahnya.

Saat saya dewasa dan mulai kuliah, setiap saya mengingat kembali kenangan malam itu, saya selalu tersenyum sendiri. Saya ingat cerita-cerita di dalam setumpuk komik itu bukanlah cerita yang ditujukan untuk anak, sebenarnya. Seingat saya cerita-ceritanya berkisar tentang seloroh antar tokoh yang sering tertimpa kemalangan atau nasihat yang disampaikan lewat cerita jenaka. 

Kalau mengingat kejadian dan latar belakang bapak membeli komik-komik tersebut, saya mendapat sinyal dari bapak bahwa "No Book Shaming Allowed" alias bapak tidak pernah memandang remeh bahkan kepada buku yang, menurut sebagian orang, berisi cerita-cerita remeh. 

Sinyal yang dikirim bapak jauh sebelum saya mengerti pengelompokan genre buku dan bahan bacaan. Kebijaksanaan yang disampaikan lewat sikapnya, kepada saya yang masih berusia 6 tahunan, jauh sebelum saya mengerti arti kehilangan, bahkan saat bapak berpulang 5 tahun kemudian.

Bapak pada zaman itu tentulah tidak mengenal istilah "living books" untuk melabeli buku-buku dengan kandungan bahasa sastrawi nan indah dan menyentuh jiwa yang konon bisa meninggalkan jejak istimewa dalam jiwa pembacanya berupa gugahan hati dan bentukan karakter yang halus nan mulia.

Tapi keyakinannya bahwa membaca buku adalah kegiatan yang baik dan bermanfaat sungguh telah menyentuh jiwa saya di kedalaman yang tak terukur dampak dan gemanya hingga saat ini, saat saya sudah memiliki anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun