Bahkan panorama gelap tak kuasa memuaskan dahaga akan tulus keabadian. Maka terbanglah dia keluar menerobos tingkap rumah, duduk bersila di punggung bukit dan melukis bintang-bintang.
Kota, antara ada dan rahasia.
Hanya gemerisik pohon besar hitam berlenggok, berisik ranting, derisik pada daun-daun, menyelinap seperti perempuan yang tenggelam di langit yang berkeringat. Menetes.
Padang senyap. Hutan lelap. Kota melesap.
Malam mendidih dengan sebelasan bintang. Udara menindih. Menguapkan air dari laut, danau dan sungai-sungai. Terangkat menuju lengkung angkasa yang berdenyut-denyut bersama kabut.
Sempurna untuk sebuah kematian.
Kota beringsut. Hawa dan warna melarut.
Rembulan menyembul elegan dalam tumpahan krayon warna kuning oranye, menjauhkan anak-anak dari kuas kanvas mereka. Kemudian seekor ular tua entah dari mana melahap benda-benda langit, tanpa sisa. Rembulan sendirian.
Dari balik arakan mega, segerombol monster bersicepat memerangkap cakrawalanya. Mengawang sang naga api membakar lapis oksigen. Hangus. Lumpuh indera. Hilang arah, bahkan terbelah. Tanpa tanda-tanda.
Tanpa jeda atau jendela. Tak ada tangis atau gerimis.
Sempurna untuk sebuah kematian.