Mohon tunggu...
Ichsan Andika
Ichsan Andika Mohon Tunggu... Lainnya - ...selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Ernst Schnabel meninggal 25 Januari 1986. Siapa tau ada hubungannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tapak Petilasan Sabrang Wetan

27 Maret 2020   09:31 Diperbarui: 27 Maret 2020   09:47 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menciduk segenggam pasir, dan kusiramkan kearah adikku. Pasirnya terlalu halus, jadi hanya sedikit saja yang mendarat di kainnya. Namun, yang sedikit itu sanggup menyemburkan murkanya melalui ubun-ubun.

Ia menerjang, dan dengan sedikit gerakan menghindar, aku sambut tinjunya. Meleset dari sasaran, ia kait sikunya ke leherku. Dalam keadaan terjepit, pilihanku hanya bergulat dengannya. Beberapa kali kami bertukar tinju. Janggutnya yang hitam dan janggutku yang putih kini lengket dengan darah dari luka-luka kami. Anggota suku kami berdatangan, dan membentuk lingkaran sebagai pembatas gelanggang tempat kami baku hantam.

Aku paham adikku ini luar biasa besar tenaganya. Namun, ia pun harus mengakui bahwa teknik gulatku tiada banding. Dalam keadaan dirinya kupiting dari belakang, aku melihat inilah kesempatan menghentikan perkelahian.

 "Aku lepas kuncianku, tapi kau harus berhenti menghajarku! Jika tidak, kucekik kau sampai pingsan, Dimas!"

Dengan suara tercekat, ia membantahku, "Kau... sedikit... lagi... habis... tenaga... Kang!"

"Ya, tapi masih sanggup membuat paru-parumu kempis."

Akhirnya, ia menyerah. Aku hempaskan ia ke samping kananku. Sorot matanya tajam padaku, lalu ia tebarkan pada warga suku yang membuat lingkaran. Napasku dan dia pagi-sore, terengah dan berat. Peluh dan darah mengalir dari wajah kami. Ia lalu kembali menatapku tajam, lalu tangannya terulur.

"Lumayan, Kangmas, untuk kakek-kakek 85 tahun!"

Aku sambut jabat tangannya.

"100 tahun lagi berkelahi denganmu pun aku masih sanggup!"

Tawa kami berdua pecah, lalu diikuti oleh seluruh warga Israil yang mengelilingi kami. Seseorang diantara mereka mengambilkan tongkat yang ia lemparkan sebelum menerjangku. Tongkat yang juga ia lemparkan ke laut sebelum kami menyeberang kesini. Untung saja tadi tidak menjelma jadi Anaconda, seperti waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun