Mohon tunggu...
Ichan Lagur
Ichan Lagur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

#YNWA. Felixianus Usdialan Lagur. Black Boy; suka kopi dan gitar. Cp: Lagurirsan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karakter dan Sebuah Perjalanan Menemukan Diri

27 Maret 2020   20:05 Diperbarui: 23 Juni 2020   08:21 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ichan Lagur (dokpri)

Saya menyukai banyak hal; gitar, piano, puisi, menulis, futsal, basket, dan kamu. ehh. . 

Sebagai pribadi yang menyukai banyak hal, saya tentu punya banyak nama besar yang menjadi inspirasi saya dalam setiap dunia yang saya sukai. Dalam dunia musik misalnya, saya menyukai orang-orang semacam Syn Gates, Mark Trimonti, Piyu Padi, Stephen Santoso, Eet, Dewa Budjana, Andra Ramadhan, Kae Illo Djeer, Ariel Noah, dan lain sebagainya. Meski bukan pemain musik yang baik, sesekali saya pernah main di panggung kampus. 

Dalam banyak hal, saya selalu berusaha untuk menampilkan diri sebagai tokoh-tokoh yang saya sukai. Dalam beberapa kesempatan, saya kadang memegang gitar melodi lalu mencoba memainkan nada-nada sebagaimana Syn Gates dan Trimonti mengalunkan melodi-melodi cepatnya yang indah. 

Dalam kesempatan lain saya coba tampil cool seperti gaya Stephen Santoso, Andra, dan Budjana, lalu seketika saya merasa diri mirip Ariel.  Karenanya, pada beberapa bagian lagu yang menurut saya dalam dan menyentuh, saya biasanya memejamkan mata sejenak, seakan-akan meresapi musik yang masuk ke dalam jiwa. Ohhh,, betapa banyak penonton yang mau muntah tiap kali liat ekspresi ini.

Sebagai penyuka futsal, saya sering menyempatkan waktu untuk bermain futsal di lapangan Karot, Ruteng. Selain untuk cari keringat, saya pikir kegiatan ini baik guna menambah teman. Di sini lain, saya merasa saya harus banyak-banyak bergerak, maklum pekerjaan sebagai staf divisi mengharuskan saya untuk full di atas kursi atau di jok motor. 

Di lapangan futsal, saya kadang terlalu memaksa diri untuk menjadi Firmino, Coutinho, atau Iniesta; makanya saya sering bawa bola sendiri dari belakang sampai depan. Dan Anda tentu sudah tahu hasilnya 'hahal'. 'Hahal' artinya ngos-ngosan a.k.a nafas satu-satu.

Sesekali saya juga sering membayangkan diri sebagai Steven Gerrard dan Pirlo; sehingga kalo sedang berada di titik tengah lapangan saya seringkali memaksa diri untuk shoot langsung ke arah gawang. Dan Anda tahu, itu kebiasaan yang kadang buat teman muak. 😁

Dalam dunia menulis, saya suka nama-nama semisal Kahlil Gibran, Jokpin, Dalipin, Sindhunata, Armin Bell, Mario Lawi, dan lain sebagainya. Saya juga menyukai dosen saya Marcelus Ungkang, juga Piyu Padi dan Ariel. Saya menyukai kedua nama terakhir ini karena bagi saya cara mereka menulis lirik sangat luar biasa puitisnya. Lirik yang mereka bangun punya nuansa sastra yang tinggi.

Saya bukanlah penulis yang cukup baik; saya hanyalah seorang yang sedang belajar bagaimana caranya menjadi penulis yang baik. Tulisan saya pernah dimuat di beberapa media (tentu saja lebih banyak kasus penolakkannya). Dalam dunia kepenulisan, saya terkadang terlalu memaksa diri untuk tampil serupa dengan orang-orang yang namanya sudah saya sebutkan di atas. 

Beberapa essai dan ulasan-ulasan yang saya buat cenderung saya paksakan untuk menjadi seperti tulisan-tulisannya Dalipin, Sindhunata, dan Kae Armin Bell secara sekakigus. Saya terlalu merasa diri superman dan terlalu mencoba untuk menjadikan diri dan tulisan saya sebagai wujud perkawinan silang ketiga gaya tokoh idola saya. Dalam beberapa feature yang coba saya tulis juga, saya kerap kali terlalu memaksa diri untuk membangun sebuah tulisan dengan gaya Sindhunata, Dalipin, dan Kae Armin Bell secara sekaligilus. 

Pada essai, ulasan, dan feature yang saya buat, saya sering terjebak dalam permainan bahasa sendiri, tersesat di bawah bayang-bayang tokoh idola saya, dan pada akhirnya saya bingung sendiri dengan apa yang saya tulis. Setelah beberapa tahun, saya membaca ulang tulisan-tulisan  dan saya menyadari betapa buruknya bahasa tulis saya. 

Beberapa puisi saya pun cendrung mengalami nasib naas yang serupa. Dalam berpuisi, saya juga terlalu memaksakan diri untuk terlihat jenaka namun mendalam seperti Jokpin, lalu pada saat yang sama terlalu memaksakan diri untuk jadi romantis dan bernuansa filosofis macam puisinya Kahlil Gibran. Terkadang saya memaksa diri untuk buat menuli puisi yang aneh dan abstrak macam Arizal  Malna, lalu di saat yang lain buat yang bernuansa biblis macam Kaka Mario Lawi.

Dari beberapa uraian di atas, pada akhirnya saya menyadari, saya seperti terus tersesat di bawah bayang-bayang tokoh idola dan sampai sejauh ini belum menemukan siapa saya. Saya belum menemukan karakter dan ciri khas saya: baik dalam bermusik, olahraga, maupun dalam menulis. Saya punya banyak dunia minat, dan dalam dunia-dunia minat tersebut, saya menemukan diri saya sebagai pribadi yang masih terlalu memaksakan diri untuk  hidup sebagai tokoh-tokoh yang saya kagumi. 

Cara saya bermusik, cara saya bermain basket, cara saya bermain futsal, cara saya berpuisi, cara saya menulis bukanlah tentang saya yang apa adanya tetapi tentang saya yang hidup di bawah bayang-bayang tokoh yang saya kagumi. Saya masih terjebak pada fase: mencoba hidup sebagai imitasi tokoh idola dan terkukung di bawah bayang-bayang mereka; terjebak dalam ilusi kriteria-kriteria tokoh anutan tanpa pernah mencoba merangkak ke labirin pencarian jati diri.

Memang sedari awal saya mempercayai, tahap awal dalam proses kreatif memanglah melalui suatu proses imitasi; melalui contoh. Dalam hal ini keberadaan tokoh-tokoh idola menjadi inspirasi dan role model bagi kita. Meski demikian, menurut saya fase ini tidak boleh bersifat tetap. Kita harus berubah dan beralih ke fase lebih lanjut, yakni fase penemuan karakter dan gaya sendiri. Itu menurut saya. Itu yang saya yakini. Kalo menurut kalian tidak begitu, yah tidak masalah.

Saya, Anda, kita harus bisa menemukan karakter sendiri dalam dunia yang kita tekuni. Penemuan karakter merupakan titik pijak yang penting yang kemudian bisa membedakan kita dengan orang lain (dalam dunia yang sama). Kalo Anda menekuni dunia musik, maka Anda harus bisa pastikan dari satu nada yang Anda petik orang bisa langsung tahu,, ohh itu pasti si X yang main. Hehehe. . Ngomong-ngomong, ini contoh alay yang saya copast dari blognya Kaka Illo Djeer. Hidup Kae Illo Djeer!

Begitu pun kalo menulis puisi. Dari satu atau dua baris puisi yang Anda tulis, orang bisa langsung tahu, oohhh ini pasti puisinya si Y. Dalam menyusun essai pun begitu, pada paragraf ke sekian orang bisa tahu ini tulisan si Z, tanpa harus melihat nama penulisnya. Demikian pun halnya dalam bidang-bidang lain yang kita geluti. Membebaskan diri dari bayang-bayang tokoh idola dan menemukan karakter serta ciri khas merupakan suatu keharusan dan kewajiban. Poin yang mau laki-laki ganteng ini bagikan di sini teman-teman: apapun duniamu, temukan karaktermu, jadilah dirimu sendiri, dan jadilah berbeda!

Ruteng, 27 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun