Mohon tunggu...
Ica Dwi Lestari
Ica Dwi Lestari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa dalam bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Berkomitmen untuk menginspirasi generasi muda dalam memahami dan menjaga keseimbangan ekosistem serta mempromosikan praktik berkelanjutan untuk masa depan yang lebih hijau.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kafein sebagai Zat Adiktif Legal: Ancaman Tersembunyi dalam Kehidupan Sehari-hari

11 Juni 2025   10:00 Diperbarui: 11 Juni 2025   09:06 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kopi Hitam Pahit (Sumber:detikcom)

Kafein telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern. Ia hadir dalam secangkir kopi pagi, teh sore hari, hingga dalam minuman energi yang dikonsumsi untuk menambah stamina. Meski legal dan diterima secara sosial, kafein memiliki sifat adiktif yang sering kali diabaikan. Ketergantungan terhadap kafein, terutama yang terkandung dalam kopi, dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Artikel ini membahas kafein sebagai zat adiktif dari sudut pandang ilmiah dan sosial di Indonesia.

Kafein merupakan senyawa alkaloid yang berfungsi sebagai stimulan sistem saraf pusat. Konsumsi kafein dalam jumlah kecil memang terbukti meningkatkan fokus dan energi. Namun, jika dikonsumsi berlebihan dan dalam jangka panjang, tubuh akan mengalami toleransi yang memicu kebutuhan konsumsi lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama. Hal inilah yang menjadi awal mula terbentuknya adiksi terhadap kafein.

Sebuah studi terbaru oleh Herqutanto dkk. (2024) yang dilakukan terhadap pekerja kantoran di Jakarta menunjukkan bahwa konsumsi kopi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kewaspadaan. Dalam penelitian yang melibatkan 121 responden, sekitar 47,1% di antaranya adalah peminum kopi harian. Namun, rata-rata asupan kafein mereka hanya sekitar 72 mg per hari yang jumlahnya masih di bawah ambang batas minimal yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek stimulasi optimal. Hasilnya, tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam peningkatan kewaspadaan antara kelompok peminum dan bukan peminum kopi. Bahkan, para peneliti mencurigai bahwa toleransi terhadap kafein akibat konsumsi jangka panjang justru mengurangi efektivitasnya. Fakta ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada kopi di kalangan pekerja kantoran lebih bersifat psikologis daripada fisiologis, sebuah kebiasaan yang dibangun bukan karena manfaatnya yang terbukti, melainkan karena persepsi dan budaya yang mengagungkan kopi sebagai bahan bakar produktivitas.

Adiksi kafein tidak hanya bersifat fisiologis, tetapi juga memiliki dimensi psikologis yang signifikan. Ketika seseorang merasa "tidak normal" tanpa asupan kafein, ini menandakan bahwa kafein telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mekanisme pengaturan suasana hati, kewaspadaan, dan performa kognitifnya. Hal ini sering dimulai dari kebiasaan harian yang tampaknya tidak berbahaya, seperti minum secangkir kopi di pagi hari untuk “membangkitkan semangat. Namun lambat laun menjadi keharusan yang tidak dapat dilewatkan. Ketergantungan psikologis ini bisa tampak dalam bentuk ketakutan kehilangan fokus, kelelahan mental yang dirasakan sebagai akibat dari tidak minum kopi, atau bahkan gangguan suasana hati seperti mudah tersinggung dan gelisah.

Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya mengganggu keseimbangan psikologis, tetapi juga berdampak serius pada sistem saraf pusat. Kafein bekerja dengan cara menghambat adenosin, yaitu neurotransmitter yang menyebabkan rasa kantuk. Ketika reseptor adenosin di otak terus-menerus diblokir oleh kafein, tubuh akan menyesuaikan diri dengan memproduksi lebih banyak reseptor adenosin, sehingga seseorang akan merasa semakin lelah jika tidak mengonsumsi kafein. Proses inilah yang menyebabkan toleransi dan memperkuat lingkaran ketergantungan, di mana tubuh menuntut dosis lebih tinggi untuk merasakan efek yang sama.

Penelitian oleh Ginting dkk. (2022) menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengonsumsi kafein lebih dari dua cangkir per hari menunjukkan gejala kegelisahan, insomnia, dan kesulitan fokus yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengonsumsi kopi. Ironisnya, banyak dari mereka yang tidak menyadari bahwa gejala tersebut merupakan akibat dari ketergantungan terhadap kafein.

Salah satu gejala paling umum dari adiksi kafein adalah sindrom penarikan (caffeine withdrawal). Gejala ini bisa muncul dalam waktu 12 hingga 24 jam setelah menghentikan konsumsi, dan mencapai puncaknya dalam 1–2 hari. Gejalanya meliputi sakit kepala, kelelahan, depresi ringan, dan kesulitan berkonsentrasi (Winata, 2016). Walaupun kafein tidak digolongkan sebagai narkotika, sifat adiktifnya cukup kuat untuk menimbulkan gangguan fungsi sehari-hari jika konsumsi dihentikan secara tiba-tiba.

Kecanduan kafein juga berdampak pada pola konsumsi dan kesehatan masyarakat luas. Penelitian yang dilakukan Widodo dan Lontoh (2023) menemukan bahwa 63,3% responden dewasa muda lebih memilih minuman kopi, dengan jenis kopi susu sebagai favorit. Tingkat konsumsi berada pada kategori sedang (3–6 cangkir per minggu). Faktor pendorong utama konsumsi adalah gaya hidup, tuntutan pekerjaan, dan kebutuhan energi tambahan. Pola ini menunjukkan potensi risiko ketergantungan yang semakin tinggi di kalangan usia produktif.

Kondisi ini diperparah oleh gencarnya promosi dan iklan produk berkafein yang secara sistematis membentuk persepsi bahwa kafein adalah simbol semangat, produktivitas, dan gaya hidup aktif. Iklan-iklan minuman kopi, baik dalam kemasan maupun di kafe-kafe modern, sering kali menampilkan sosok-sosok yang enerjik, sukses, dan kreatif seolah-olah energi dan pencapaian mereka adalah hasil dari asupan kafein. Strategi pemasaran ini tidak hanya menargetkan kalangan dewasa muda dan pekerja kantoran, tetapi juga mulai merambah ke generasi remaja dan mahasiswa yang masih dalam tahap pencarian identitas diri dan rentan terhadap pengaruh tren.

Budaya “ngopi” pun berkembang pesat menjadi bagian dari identitas urban masyarakat Indonesia. Nongkrong di kafe, membawa kopi dalam gelas bermerek ke tempat kerja, atau mengunggah foto-foto kopi di media sosial telah menjadi gaya hidup yang dianggap modern dan aspiratif. Tanpa disadari, budaya ini turut menciptakan tekanan sosial bahwa seseorang akan tampak lebih produktif, relevan, atau bahkan lebih “berkelas” ketika mereka menjadi bagian dari ekosistem konsumsi kopi harian. Dalam banyak kasus, minum kopi bukan lagi soal kebutuhan, melainkan sebuah ritual sosial yang sulit ditinggalkan. Sayangnya, di balik konstruksi sosial yang dibentuk melalui narasi komersial ini, terdapat risiko kesehatan yang nyata dan terukur secara medis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun