Mohon tunggu...
Gaharu Online
Gaharu Online Mohon Tunggu... Guru - Ibnu Rusid

Provinsi Nusa Toleransi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Terpenjaranya Nalar

10 April 2019   12:01 Diperbarui: 10 April 2019   12:52 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Terpenjaranya Nalar Dalam Demokrasi "

Polemik kemiskinan, kesehatan dan kesejahtraan telah dipolitisasi seolah-oleh menjadi jualan politik 5 tahunan. Jangankan itu, Pancasila dan NKRI menjadi jargon politik. Mereka rela mempermaikan urgenitasnya masyarakat demi jabatan 5 tahunan. Hak Asasi Manusia seolah-olah menjadi kunci dari segala kunci kesuksesan politik, ia dipoles dengan begitu rapih dalam persilatan demokrasi untuk mencapai kemenangan. Inilah Demokrasi di bangsaku, demokrasi rasa ajang adu domba.

Pengklaiman kebenar menjadi isu pasaran yang berfungsi sebagai magnet dalam politik, dari paling Indonesia, palin Pancasila, paling dekat dengan Tuhan dan yang paling NKRI, yah inilah negriku. Negeri yang menabrak batas antara manusia dan Tuhannya.

Pertarungan Pilpres kali ini rasanya geli-geli manja, geli melihat cara-cara kotor dalam menarik simpatisan masyarakat, baik cebong dan kampret bahkan mungkin juga pecundang versi Ibu Megawati. Nalarku dikotakan dalam 3 situasi dimana aku menjadi Cebong, Kampret dan Pecundang. Tidak ada jalan lain selain menetukan situasimu.

Seburuk itukah politik?, hingga aku harus menjadi cebong, kampret dan pecundang?, yah jika demikian harus kusebut apa para bandit dan pecuri uang negara?, nalarku mengalir deras memikirkan satu sebutan untuk mereka dan pada akhirnya nalarku harus terpenjara dalam ruang-ruang politik.

Bung marilah kita sadar, ini hanyalah Politik 5 tahunan, jangan sampai merusak nalarmu dengan pemikiran kampret dan cebong, karna mereka akan saling beradu kuat dalam opin dan berdialektika walau minim estetika. Bung, inilah negeriku, negeri yang subur walau ditanam batu dan kayu, jangan kau rusak dengan nalar sempitmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun