Mohon tunggu...
Iberto Halawa
Iberto Halawa Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia

Membaca bagian dari iman

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengaruh selebritas dan public figure di Pemerintahan

15 April 2025   21:45 Diperbarui: 15 April 2025   21:40 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penentuan pilihan politik bagi seluruh masryakat pemilih hampir di seluruh dunia dewasa ini sudah mulai ditentukan oleh kehadiran sosok atau figure calon dalam politik. Terdapat pergeseran pemilihan dewasa ini untuk menentukan pilihan partai politik bagi para pemilihsebagaimana misalnya diutarakan oleh Alan Ware. Menurut Alan Ware, dalam konteks kepartaian saat ini tidak cukup hanya mengandalkan kebesaran nama sebuah partai, tetapi justru mengandalkan kandidat yang dikenal oleh public dan yang bisa diterima oleh public secara luas. Bahkan, ideologi yang selama ini menjadi andalan dari partai sering terpinggirkan oleh kualitas daripelaksanaan konkrit atas program partai yang kemudian menjadi penilaian penting dari pemilih. Pada tataran penempatan kader, sering terbuka ruang untuk terjadinya perbedaan fenomena politik yang melatarbelakangi dan menentukan keputusan hasil akhirnya yang memungkinkan terjadinya perbedaan dan adanya unsur kesamaan terkait peranan elit partai. Kemungkinan terjadinya variasi dalam proses penempatan calon legislative sebuah partai misalnya, tentu tidak bisa terlepas dari adanya faksi-faksi yang berkembang diorganisasi partai. Bahkan dalam tataran lebih tinggi, tidak sedikit penentuan lokasi dan daerah pemilihan calon partai menjadi pertimbangan sangat serius bagi setiap partai politik. Terdapat kebutuhan bagi elit dalam mengendalikan jalannnya organisasi partai dengan alasan kestabilan internal dan menghindarkan terjadinya perpecahan.

Terkait dengan proses pencalonan kandidatkandidat, Alan Ware menjelaskan bahwa ketika potensi individu yang layak jual ke tengah pemilih dan dianggap mampu menaikkan suara partai politik ditempatkan sebagai prioritas, maka peranan partai tidak lagi menjadi dominan. Memang tetap perlu bagi partai untukmensosialisasikan dirinya, tetapi yang paling utama adalah bagaimana calon yang bersangkutan mampu memperkenalkan dirinya ke masyarakat bahwa dirinya layak untuk dipilih. Ketika kandidat tersebut sudah mengkampanyekan dirinya kepada masyarakat maka tugas partai bisa melihat sebesar apa tingkat penerimaan masyarakat itu terhadap diri seorang calon. Artinya, selama tidak ada riak-riak penolakan entah melalui media atau ada kelompok masyarakat yang berusaha menolak calon dimaksud, maka calon tersebut tetap dimajukan oleh partai dan orang bersangkutan tidak terlalu direpotkan oleh kendala-kendala.

Alasan partai politik menempatkan calon-calon di daerah pemilihan tertentu didasarkan oleh pertimbangan bahwa partai sudah sangat yakin kandidatnya dikenal dan mampu meraih dukungan pemilih secara maksimal. Persoalan partai untuk mensosialisasikan dirinya supaya pemilih memilih partai tersebut menjadi sangat minimal. Ideologi ini bisa tidak tampak, tetapi populisme dan sifat nasionalisme partai jauh lebih penting yang diwujudkan dalam program partai. Bukan lagi penonjolan terhadap ideologi antara kiri dan kanan yang terutama, tetapi sejauh mana reaksi partai dalam program konkritnya tanggap terhadap praktek-praktek politik yang kena langsung dengan masyarakat yang terlihat dari programprogramnya yang populis dan berciri nasionalis. Sebaliknya program individu jauh lebih penting untuk meraih suara. Reaksi partai yang demikian ini sangat berbeda dengan spektrum kiri dan kanan yang disampaikan di penjelasan awal di atas. Karakter ini bisamenghapus dimensi sayap kiri dan sayap kanan, yang bahkan dalam konteks kajian ini dianalogikan adanya dimensi antar yang berbeda suku atau berbeda agama untuk sebuah keterpilihan. Dalam konteks ini program partai dan ideologi menjadi dua hal sangat penting ketika menggunakan partai yang menentukan keterpilihan dari kandidatkandidat yang diusulkan. Memang dalam sistim pemilihan umum tertutup, posisi dan pengenalan terhadap partai politik menjadi sangat penting karena partai menempatkan orang-orangnya.

Melibatkan selebriti untuk mningkatkan citra partai politik. Selaras dengan “Fenomena Rekrutmen Artis Anggota Legislatif Ditinjau dari Perspektif Teori Partai Politik".Artis sering dinominasikan oleh partai politik untuk tujuan pragmatis yang mendesak. Hal ini karena artis harus memenuhi prasyarat tertentu agar dapat diterima dengan cepat oleh pemilih. Hal ini disebabkan fakta bahwa artis atau selebriti memiliki modal sosial dan finansial yang membuat mereka lebih mudah mendapatkan kemenangan daripada bagi kader yang mungkin harus berusaha lebih keras. Terlebih di era digitalisasi saat ini, dengan pemanfaatan media sosial memang memberikan peluang bagi para pelaku politik untuk dapat menarik pemilih, berkomunikasi langsung dengan publik, dan menciptakan percakapan yang “akrab” dengan publik. Semua peluang ini dimungkinkan berkat aksesibilitas media sosial. Oleh sebab itu, partai politik memanfaatkan peluang ini dnegan menggandeng selebriti.

Partisipasi selebriti adalah bukti lebih lanjut bahwa tidak ada prosedur perekrutan yang efektif. Jika partai politik dapat secara efektif menjalankan fungsi perekrutan anggota baru, seharusnya mereka tidak membuang waktu untuk menggotong para selebriti. Masyarakat akan lebih sulit memilih partai politik yang mereka yakini memiliki peluang terbesar untuk melindungi atau memajukan kepentingan mereka ketika para partai politik yang terlibat dalam perilaku ini. Dengan bertambahnya jumlah partai politik, semakin tidak mungkin ada satu partai yang akan memenangkan pemilu secara langsung. Karenanya, partai politik tidak segan-segan merekrut calon selebriti guna mendulang suara. Situasi ini mengakibatkan rusaknya reputasi partai akibat krisis kepercayaan di kalangan legislator dan lembaga politik ketika institusi dan individu menjadi sorotan publik. Fenomena selebriti sering diusung untuk mencalonkan diri di legislatif, meskipun merekatidak tahu kapasitas mereka. Mereka belajar apa yang mereka ketahui tentang politik dan peran mereka sebagai wakil rakyat selama masa pembekalan dari partai. Hal tersebut terlihat bahwa kaderisasi tidak berjalan. Untuk memastikan bahwa tokoh atau kandidat terkenal dengan elektabilitas yang cukup untuk memenangkan pemilihan akan selalu memiliki keunggulan dibandingkan anggota partai yang kurang dikenal tetapi memiliki kualifikasi yang sama. Sama halnya jika calon yang diusulkan hanya mengajukan caleg berdasarkan elektabilitas dan reputasinya. 

Melibatkan selebriti dalam partai politik bertujuan untuk mendulang suara partai mereka sehingga lolos dari parliamentary threshold. Strategi mencalonkan banyak artis-artis tampaknya merupakan satu-satunya cara yang dapat mendongkrak suara partai mereka. Hal itu mereka lakukan karena beberapa alasan, salah satunya adalah agar partainya tetap eksis “hidup” dan tidak sekadar “menghiasi” arena politik di Indonesia. Karena mudah merekrut partai politik jika calon memiliki kekuasaan di daerah dengan dukungan publik yang kuat, hal ini setara dengan pragmatisme politik melalui proses rekrutmen partai politik yang seringkali hanya mengutamakan daya tarik dan elektabilitas. Akibat langsung dari hal itu, tidak sedikit pengurus partai yang dianggap kompeten kehilangan kesempatan untuk ikut serta. Hal ini disebabkan mereka kalah dalam pemilu oleh tokoh atau pesaing yang memiliki elektabilitas tinggi untuk menang. 

Menurut pandangan Bourdue, jumlah modal sosial yang dimiliki individu tidak hanya bergantung pada ukuran jaringan koneksi yang dapat mereka atur, tetapi juga pada jumlah modal ekonomi, budaya, dan simbolik yang dimiliki oleh individu-individu yang menjadi koneksi mereka. Akibatnya, Bourdieu membagi modal sosial menjadi dua bagian: pertama, hubungan sosial, yang memberi orang akses ke sumber daya yang dimiliki bersama; dan kedua, kuantitas dan kualitas sumber daya tersebut. Pada akhirnya, Bourdieu menganggap modal sosial sebagai investasi yang dilakukan oleh kelas yang diistimewakan untuk mempertahankan dan menyebarkan kerja sama kelompok serta mempertahankan posisi hegemonik kelompok.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun