Mohon tunggu...
Sophian Amri
Sophian Amri Mohon Tunggu... Seniman - Pembelajar

Berilmu amaliah, beramal ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kedudukan Akal dalam Memahami Agama

28 Februari 2022   21:55 Diperbarui: 28 Februari 2022   22:11 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia merupakan makhluk yang telah diberikan keunggulan, diantara bentuk keunggulannya Allah ta'ala anugerahkan akal sebagai landasan dalam berpikir dan bertindak. Filsuf Islam Imam Al Ghazali mengatakan bahwa sejatinya manusia merupakan hewan yang berakal al Insanu hayawanun natiq, secara harfiah tentu bukanlah mendefinisikan manusia sebagai binatang atau hewan secara mutlak. Akal menjadi tolak ukur pembeda antara manusia dengan binatang, meskipun keduanya memiliki kecenderungan hawa nafsu yang sama, namun akal menjadikan manusia memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang binatang manakala mampu mendayagunakan akalnya dengan sebaik mungkin.

Berkat adanya akal manusia memiliki kebebasan serta kedaulatan dalam berpikir. Dalam Al Qur'an seringkali Allah ta'ala menekankan pentingnya menggunakan akal dan logika berpikir di antaranya menggunakan lafadz la'alakum ta'qilun, la'alakum tatadabarun, la'alakum tatafakkarun, dsb. Pada lafadz tersebut terdapat penggunaan kata la'ala yang menunjukkan suatu perintah, namun perintah tersebut secara eksplisit bukan bermuatan memaksa atau tuntutan harus ditaati dan dilaksanakan, melainkan perintah yang hanya bermuatan kesadaran untuk melaksanakan suatu perbuatan.

Tentu akan berbeda jika perintah tersebut menggunakan padanan fi'il amr yang secara makna bersifat memaksa tanpa memberikan kesadaran, baik sadar maupun tidak sadar harus dikerjakan. Pemilihan diksi la'ala merupakan suatu bentuk kemuliaan Allah ta'ala kepada manusia karena telah dianugerahi akal dan kesadaran.

Akal dalam Perspektif Islam

Islam bukanlah agama yang menutup diri dari penggunaan akal dalam ranah kehidupan beragama, bahkan akal memiliki posisi sentral setelah nash agama Al Qur'an dan Hadis. Jika ditelisik lebih dalam, Islam menganjurkan umatnya untuk mendayagunakan akal dalam bentuk ilmu pengetahuan, sebab dengan ilmu pengetahuan manusia dapat menjalankan kehidupan beragama tanpa khawatir terjerumus pada kesesatan. Dalam urusan ibadah misalnya, ketika salat kita diwajibkan untuk menghadap ke arah kiblat, namun pada nash agama tidak ditemukan metode secara spesifik bagaimana mengatur arah salat agar sesuai dengan kiblat. Maka pada akhirnya pun, peran ilmu falak dan berbagai ilmu pengetahuan ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan di atas.

Seiring perkembangan zaman problematika yang dihadapi umat nyatanya kian bertambah pelik, berbagai persoalan yang muncul ke permukaan tampaknya belum sepenuhnya terjawab melalui nash agama. Esensi Islam sebagai agama shalih li kulli zaman wa makan atau relevan dengan waktu dan tempat, membuat Islam harus membuka lembaran ijtihad baru dalam mengatasi problematika umat yang semakin kompleks. 

Keberadaan nash agama baik Al Qur'an maupun Hadis sebagai pedoman dan sumber hukum Islam seringkali masih dipandang bersifat mujmal atau global bagi masyarakat awam, sehingga memerlukan metode penafsiran untuk memahami suatu hukum. Penafsiran terhadap ayat-ayat ahkam yang masih bersifat umum akan menghasilkan suatu hukum yang lebih rinci dan lebih mafhum untuk dipahami oleh masyarakat awam.

Dalam menafsirkan suatu ayat pun, tidak hanya terbatas pada pendekatan tekstual, melainkan juga mengharuskan menggunakan pendekatan kontekstual. Pemahaman yang hanya menekankan pada aspek tekstualitas cenderung bersifat mempersempit suatu pemaknaan, sebab penafsiran hanya terpaku pada teks dan kurang memahami situasi yang sedang berkembang. Sedangkan pemahaman pada sisi kontekstual akan membuat penafsiran menjadi lebih dinamis, hal ini dikarenakan ruang lingkup penafsiran tidak hanya berkutat pada sisi tekstualitas, melainkan juga mengkaji realita permasalahan yang sedang terjadi.

Dalam masalah beragama, Islam telah menuntun umatnya untuk senantiasa beritiba' dalam menjalankan syariat, serta sebisa mungkin menjauhi perkara taqlid buta, sebab sikap semacam ini bisa menjerumuskan pada fanatisme terhadap suatu golongan, pemahaman fanatisme inilah yang pada akhirnya menyebabkan seseorang enggan menggunakan akalnya untuk menggali nilai kebajikan.

Menjaga Kewarasan Nalar Beragama

Meskipun manusia memiliki kehendak dan kebebasan dalam berpikir, akal manusia tentunya juga memiliki keterbatasan yang sering kali tidak disadari. Kebebasan berpikir kerap disalah tafsirkan sebagai kebebasan tanpa memandang normativitas agama yang berlaku. Pemikiran semacam ini seolah kabur akan memahami wilayah sensitif pada agama yang sebenarnya  tidak mampu dijangkau oleh rasionalitas akal tanpa melibatkan eksistensi nash agama. Akibatnya pandangan seperti ini melahirkan paham liberalisme, yang mana sangat getol dalam menyuarakan kebebasan beragama tanpa memedulikan batasan syariat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun