Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

Praktisi Pendidikan, Editor Lepas dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Distorsi Makna Jihad: Gagal Paham Para Jihadis (Part 1)

27 November 2020   20:58 Diperbarui: 11 Desember 2020   20:10 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini, sering sekali ditemukan perdebatan diantara para cendikiawan muslim baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini muncul dari permasalahan tentang bagaimana mengembalikan marwah atau harkat martabat Islam sebagaimana yang sudah dilakukan para pendahulu di masa kejayaan Islam (Islamic Golden Age).  Diantara perdebatan tersebut, ada satu hal yang sering disebutkan, yang dijadikan sebagai sebuah upaya untuk mengembalikan marwah Islam. Hal tersebut adalah Jihad.

Jihad adalah kewajiban bagi setiap mukmin untuk mempertahankan agamanya dari serangan lawan. Wujud dari serangan tersebut tidak harus berupa serangan fisik, akan tetapi dapat berupa serangan pemikiran, keilmuan, teknologi, perekonomian dan lain sebagainya. Namun, Jihad dalam penerapannya seringkali dilakukan dengan tindakan yang sangat tidak relevan dimasa ini, mereka yang gagal memahami makna Jihad, selalu memaknai dan mengidentikan Jihad sebagai upaya mengangkat senjata (Berperang) melawan musuh-musuh Allah.

Rangkaian peristiwa terorisme yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dilakukan oleh orang-orang yang menamai mereka sebagai Kelompok Jihadis, dari Kasus Bom Bali, Sarinah hingga Surabaya. Lalu, Menurut Ahmad Saifudin dalam jurnalnya, "Reproduksi Pemahaman Dan Dinamika Psikologis Paham Radikal: Analisis Terhadap Sikap 'Menyalahkan' Kelompok Lain", mengutip Sri Lestari dalam artikelnya, "Anak-Anak Muda Indonesia Makin Radikal?", menyatakan bahwa survei dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 sampai dengan Januari 2011, menunjukkan hampir 50% pelajar setuju akan tindakan radikal, 52,3% setuju dengan tindakan kekerasan untuk solidaritas agama, dan 14,2% membenarkan serangan bom.

Tindakan-tindakan semacam inilah yang akhirnya membatasi makna Jihad tsb, dan membuat sebuah gambaran bahwa Jihad seorang muslim, harus dilakukan dengan cara menenteng dan menyelimuti diri mereka dengan bom. Sehingga tindakan-tindakan semacam itulah yang akhirnya mempengaruhi Psikologi seseorang untuk melakukan tindakan Terorisme. Tindakan semacam inilah yang akhirnya dijadikan sebagai media pencucian otak (Brainwashing), dengan dalih mengembalikan marwah Islam.

Menurut Usamah Sayyid dalam bukunya, "Islam Radikal: Telaah Kritis Radikalisme dari Ikhwanul Muslimin Hingga ISIS Jihad", sebagaimana disyariatkan oleh Allah Ta'ala dan dijadikan sebagai amalan yang bermakna luas dan mulia, dimana perang adalah salah satu bentuknya sangat terkait erat dengan maqashid syariah, yaitu berdakwah memberikan hidayah dan menghidupkan jiwa-jiwa manusia, bukan malah membunuhnya.

Menurut Gazi dan Ikhwan Lutfi dalam laporan penelitian kolektif, "Dari Orang Biasa Menjadi Teroris: Telaah Psikologi Atas Pelaku Dan Perilaku Teror", menjelaskan diantara faktor Psikologi utama yang mempengaruhi para Jihadis yang akhirnya menjadikan dirinya menjadi pelaku teror adalah Motif dan Kerentanan (Vulnerability). 

Secara definisi, yang dimaksudkan dengan motif adalah emosi, hasrat, kebutuhan psikologis, atau impuls yang menjadi dorongan atau kekuatan dari dalam diri seseorang untuk bertingkah laku atau berbuat sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan Kerentanan (Vulnerability) adalah suatu kecenderungan untuk terpengaruh oleh bujukan atau ajakan orang lain, sehingga mengikuti setiap apa yang sudah dijelaskan oleh orang lain.

Motif Sosial (Social Motives) adalah dorongan-dorongan yang ada hubungannya dengan orang atau manusia lain, motif sosial inilah yang dibangun oleh para kelompok Jihadis untuk mempengaruhi Psikologi orang lain sehingga bergabung dengan kelompoknya. 

Dorongan melalui doktrin-doktrin agama yang sudah didistorsikan, doktrin pemikiran yang lahir dari kegagalan memahami konsep Jihad yang sesungguhnya. Selanjutnya, motif atas jalarannya motif yang mempengaruhi adalah motif ekstrinsik, yaitu motif yang berfungsi karena adanya perangsangan dari luar.

Salah satu motivasi itu adalah pahala dan surga, bagi kalangan muda yang masih awam pengetahuan akan agama namun memiliki semangat beragama yang sangat tinggi, banyak mendukung gerakan-gerakan radikal tersebut. Bahkan, diantaranya banyak dari kalangan muda yang bersedia menjadi pelaku terorisme. Dan Ironisnya, dengan bekal keagamaan mereka yang belum dapat dikatakan mencukupi ('Alim dan Faqih), tetapi mereka sangat gencar berdakwah atas perspektif yang mereka pahami sendiri. 

Model gerakan (Rule Model) radikal pun sangat massif dan terkoordinir dengan tersistematis sehingga mampu mempengaruhi hampir seluruh lapisan masyarakat. Tanpa terkecuali, radikalisme yang sudah menjalar ke kalangan mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Sehingga, paradigma radikal yaitu perilaku yang seringkali menganggap salah, bid'ah, kafir, dan sesat kelompok lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun