Mengukur Keberhasilan Perpustakaan dari Angka-angka
Kita sering mengukur keberhasilan perpustakaan dari angka-angka: berapa banyak buku terkumpul, berapa banyak pengunjung yang datang.
Tapi dari pengalaman saya, angka-angka itu nggak bisa jadi satu-satunya indikator.
Seperti kata Muhammad Subhan Pemimpin Umum Majalah Elipsis, kita perlu membaca ulang darurat literasi dan perpustakaan kita.
Saya membayangkan perpustakaan kita bisa seperti Perpustakaan Soeman H.S. di Riau, yang punya auditorium, ruang internet, bahkan kafe.
Tempat seperti ini nggak cuma menawarkan buku, tapi juga ruang untuk berinteraksi, berdiskusi, dan berkreasi.
Mungkin ini sejalan dengan bayangan Kompasianer Tiyarman Gulo: perpustakaan nggak sekadar gudang buku, tapi ruang hidup komunitas—belajar, diskusi, seni, digital, dan healing—yang ramah untuk semua kalangan.
Bayangan Perpustakaan yang Hidup
Setelah melewati gang sempit, rak berantakan, dan jawaban surealis petugas, saya tersadar, mungkin saya terlalu cepat menghakimi.
Bisa jadi mereka juga sama-sama korban dari sistem yang pincang: minim pelatihan, kurang apresiasi, dan budaya kerja yang nggak membangun pustakawan untuk betul-betul ngerti “isi rumahnya sendiri.”
Perpustakaan nggak akan pernah hidup hanya dengan tumpukan buku. Yang membuatnya berdenyut adalah orang-orang dan agenda yang menghidupi perpustakaan.