Savic membuka diskusi dengan menengok kembali era Orde Baru di mana hanya tiga partai yang diizinkan mengikuti Pemilu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).Â
Dari sembilan partai besar di Indonesia, plus organisasi di bawah naungan Golkar, Soeharto meringkasnya menjadi tiga saja.
Savic kemudian mempertanyakan perbedaan antara situasi tersebut dengan masa kini. "Apa kira-kira bedanya dengan dulu partainya cuma tiga (dengan) sekarang partainya banyak tapi syaratnya juga macam-macam dan ada threshold? Di sisi mana dulu enggak disebut demokratis dan sekarang disebut demokratis?" Â
Demokrasi pada dasarnya adalah tentang kedaulatan rakyat, di mana rakyat memiliki hak untuk menentukan pemimpin dan arah bangsa. Namun, adanya parliamentary threshold dapat memicu kekhawatiran bahwa kedaulatan rakyat tergantikan oleh kedaulatan oligarki dan partai politik underbow-nya.
Hal ini terjadi karena suara rakyat yang tidak mencapai ambang batas parlemen menjadi "terbuang sia-sia" dan tidak terwakili di parlemen. Partai-partai kecil dengan basis massa tertentu terhalang untuk masuk ke parlemen dan memperjuangkan aspirasi rakyat.Â
Ditambah lagi, partai-partai besar dan mapan memiliki keuntungan karena memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan media.
Akibatnya, keberagaman suara rakyat tidak tersampaikan dengan baik, dan kebijakan yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan kebutuhan rakyat secara komprehensif.Â
Lantas, di mana letak demokrasinya?
Adanya ambang batas parlemen dikhawatirkan dapat menjadi bentuk laten dari tirani mayoritas. Hal ini juga diungkapkan oleh Savic dalam Forum Demokrasi, di mana ia menekankan bahwa demokrasi harus tunduk pada rule of law untuk menghindari tirani mayoritas.
Savic juga memberikan contoh bagaimana era Orde Baru membatasi hak rakyat, seperti aturan yang melarang orang Tionghoa membuka toko di wilayah desa dan tingkat kecamatan.Â
Aturan ini merupakan contoh nyata bagaimana kekuatan mayoritas dapat digunakan untuk menindas kelompok minoritas. Sehingga menjadi alasan kuat lainnya bahwa ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional harus dihapuskan.