Pernahkah terlintas dalam pikiranmu, bagaimana rasanya ketika kita bersemangat untuk belajar, namun tidak ada buku yang bisa kita jadikan sumber ilmu?
Atau saat kita berharap bisa pergi sekolah, namun tak ada seorang guru pun yang hadir untuk memberikan pengetahuan dan pengarahan?
Realitas ini, mungkin sulit dibayangkan bagi sebagian dari kita, namun nyata dialami oleh anak-anak di Pulau Runduma, Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Wakatobi adalah kabupaten yang memiliki sejarah panjang. Sebelum Indonesia merdeka, daerah ini berada di bawah kekuasaan Kesultanan Buton.
Gugusan pulau yang dulu dikenal sebagai 'Kepulauan Tukang Besi' baru terbentuk pada tanggal 18 Desember 2003, setelah pemekaran dari yang dulunya merupakan kecamatan dalam Kabupaten Buton.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, UNESCO, menetapkan kawasan Taman Nasional (TN) Laut Wakatobi sebagai salah satu Cagar Biosfer Bumi pada tahun 2012.
Dengan penetapan ini, Wakatobi menjadi Cagar Biosfer Bumi ke-598 yang tersebar di 117 negara. Cagar Biosfer Bumi Wakatobi juga merupakan Cagar Biosfer Bumi ke-8 di Indonesia.
Meskipun Wakatobi terkenal sebagai 'surga bawah laut' dengan kekayaan alamnya yang menakjubkan, namun sayangnya manfaat dan dampak positifnya belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, terutama di Desa Runduma yang terletak di kecamatan Tomia.
Saya sempat wawancara dengan Ade Setyaningrum Sutrisno, seorang relawan di bidang pendidikan di Pulau Runduma pada tahun 2022.
Arum mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi dalam sektor pendidikan di wilayah tersebut. Ia menyoroti beragam masalah utama yang harus menjadi perhatian di Runduma.
Pertama, akses yang sulit merupakan hambatan utama. Terdapat keterbatasan dalam transportasi (hanya ada 2-3 kali dalam sebulan), dan tidak adanya jaringan telekomunikasi membuat sulitnya akses terhadap informasi.