Mohon tunggu...
SF Maratul Ulya
SF Maratul Ulya Mohon Tunggu... Konsultan - Analis Sosial Budaya Masyarakat

Penulis adalah Alumnus Universitas Islam Negeri Walisongo dan menamatkan jenjang studi Magister di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Optimalisasi Kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan bagi Penyandang Disabilitas di Pasar Kerja

3 Januari 2023   13:10 Diperbarui: 3 Januari 2023   13:16 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Selain itu, interseksionalitas antara kebijakan, pengelolaan kelembagaan, dan rendahnya
dukungan masyarakat terhadap personal disabilitas semakin mempersulit penyandang disabilitas masuk
ke dunia kerja. Fakta lapangan menunjukkan bahwa penyandang disabilitas menghadapi hambatan
multiplier dalam mengakses kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari masih sektoralnya penanganan isu
disabilitas yang dikategorikan ke dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang
penangananya sendiri masih sebatas pemberian bantuan berupa uang tunai kepada 40 persen kelompok
penyandang disabilitas dengan level perekonomian rendah.

Selain itu, layanan infrastruktur publik belum sepenuhnya inklusif menjadi faktor penghambat
penyandang disabilitas untuk mengakses pekerjaan atau menuju ke tempat kerja. Seperti layanan
transportasi umum yang belum banyak memberikan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas.
Akibatnya, untuk menuju ke tempat kerja atau mencari lowongan kerja penyandang disabilitas harus
menggunakan jasa transportasi yang lebih mahal seperti jasa taksi. Tidak hanya itu, gedung tempat
mereka bekerja juga seringnya belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas.
Padahal, kemudahan akses bagi penyandang disabilitas telah diatur dalam UU No. 28 tahun 2002
tentang bangunan gedung, UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dan PP PUPR No. 14
tahun 2017 tentang persyaratan kemudahan bangunan namun belum direalisasikan secara optimal dan
menyeluruh.

Hambatan lainnya juga berkaitan kerjasama multi sektor yang dilakukan oleh pemerintah pusat,
organisasi masyarakat setempat (OMS), dan komunitas disabilitas yang menghasilkan pembuatan buku
panduan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas. Namun, aturan maupun sosialisasi penggunaan
buku tersebut belum banyak diketahui dan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Kondisi ini terjadi
akibat dari minimnya sistem pengawasan sehingga berpengaruh terhadap pemahaman stakeholder di
perusahaan-perusahaan. Tidak seimbanganya jumlah SDM pengawas dengan jumlah perusahaan yakni
1:11 (ILO & Kemnaker; 2017) berdampak pada kurangnya perhatian bagi pemberlakuan kuota
minimum penyandang disabilitas di perusahaan.

Sistem recruitment di dunia kerja yang belum inklusif dengan tidak afirmatifnya informasi
lowongan kerja yang masih menerapkan kategori ambigu seperti 'sehat jasmani dan sehat rohani' juga
masuk dalam kategori hambatan multiplayer selanjutnya. Penyandang disabilitas kerap dianggap tidak
memenuhi syarat ini. Kategori yang diterapkan ini semakin diperparah dengan tidak adanya petunjuk
teknis dari tenaga medis dalam melakukan assessment kesehatan. Selain itu, masih banyak informasi
lowongan kerja yang belum mencantumkan secara tertulis bahwa pekerjaan tersebut terbuka bagi para
penyandang disabilitas.

Selanjutnya, meskipun regulasi untuk mengikuti pelatihan keterampilan kerja di lembaga
pelatihan kerja pemerintah, pemerintah daerah, maupun swasta bagi penyandang disabilitas telah diatur
dalam pasal 46 UU No. 8 tahun 2016. Namun, hanya 10 persen angkatan kerja penyandang disabilitas
yang pernah mengikuti pelatihan berdasarkan data Sakernas tahun 2020. Kondisi ini dikarenakan
fasilitas dan sarana prasarana di lembaga pelatihan kerja belum mendukung untuk memenuhi kebutuhan
penyandang disabilitas.

Selain itu, minimnya dukungan bagi penyandang disabilitas baik di lingkungan keluarga
maupun lingkungan sosial menyebabkan rendahnya kepercayaan diri penyandang disabilitas untuk
terjun ke pasar kerja. Fenomena ini masih banyak ditemui di lingkungan keluarga yang memiliki
anggota penyandang disabilitas yang merasa bahwa kondisi tersebut sebagai aib sehingga akses
pendidikan, kesehatan, dan interaksi sosial penyandang disabilitas terbatas atau bahkan tidak terpenuhi.
Kondisi-kondisi yang demikian itu juga berdampak pada kemampuan penyandang disabilitas dalam
mempertahankan pekerjaannya apalagi mendapatkan promosi jabatan.

Meski Kementerian Ketenagakerjaan melalui Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan
Ketenagakerjaan dan K3 (Ditjen Binwasnaker dan K3) bersama Direktorat Jenderal Pembinaan
Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI & JSK) mengusung isu prioritas
"Adapting labour protection for more effective protection and increased resilience for all workers"
pada G20 OSH Network Meeting yang akan diselenggarakan di Bali pada 13 September 2022. Namun,
untuk merealisasikan isu prioritas yang diangkat dan untuk merespon dinamika serapan tenaga kerja
penyandang disabilitas di pasar kerja perlu dilakukan beberapa hal maka direkomendasikan langkah-
langkah sebagai berikut untuk dilakukan secara kolaborasi dari seluruh sektor kementerian;

Pertama, Kementerian Ketenagakerjaan beserta Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dan
Balai-Balai Besar Ketenagakerjaan perlu membuat regulasi tambahan mengenai mekanisme untuk
memonitoring dan melaporkan terkait kepegawaian penyandang disabilitas di lembaga pemerintahan,
BUMN/BUMD, dan perusahaan-perusahaan swasta lainnya. Monitoring tersebut mencakup pelaporan
atas hasil evaluasi kebijakan kuota minimum yang disosialisasikan, dan terakomodirnya status gender
bagi penyandang disabilitas agar tidak ada ketimpangan gender di pasar kerja.

Kedua, Kementerian Ketenagakerjaan bersama Komisi Nasional Disabilitas perlu membantu
perusahaan-perusahaan atau penyedia kerja untuk melakukan assessment berdasarkan International
Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) terkait kelayakan tempat kerja maupun
kondisi penyandang disabilitas.
Ketiga, Kementerian beserta Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) perlu
terus memperbaiki infrastruktur umum terutama akses transportasi yang lebih ramah bagi penyandang
disabilitas. Transportasi yang ramah bagi penyandang disabilitas dapat membantu mempermudah akses
mereka untuk menuju lokasi kerja dan atau mencari lowongan pekerjaan baik yang dekat maupun jauh
dari lokasi tempat tinggal mereka.

Keempat. BLK/BLKK perlu memastikan bahwa penyandang disabilitas mendapat kesempatan
mengikuti pelatihan kerja dengan sarana dan prasarana yang mendukung bagi penyandang disabilitas
sebagai persiapan untuk memasuki pasar kerja. Selain itu, BLK/BLKK juga perlu memastikan adanya
kesempatan magang serta bantuan gaji berupa dana, pelatihan atau tutorial, interpreter, dan mentor bagi
penyandang disabilitas.
Kelima, Unit Layanan Disabilitas (ULD) dan BP Jamsostek perlu memberikan pendampingan
untuk mengoptimalkan program "Return to Work" agar dapat memaksimalkan fungsi tenaga
pendamping bagi penyandang disabilitas dan memaksimalkan fungsi buku panduan tentang tahapan
mempekerjakan pegawai penyandang disabilitas pasca kecelakaan kerja.
Keenam, Kementerian Keuangan perlu membuat kebijakan untuk mengakomodir pemberian
subsidi iuran jaminan ketenagakerjaan (BP Jamsostek) dan jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan) bagi

penyandang disabilitas di tempat mereka bekerja baik itu di BUMN/BUMD maupun di perusahaan-
perusahaan swasta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun