Mohon tunggu...
Hyasint Asalang
Hyasint Asalang Mohon Tunggu... Human Resources - Pergo et Perago

Bisnis itu harus menyenangkan!!!!!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Honorer: Kebohongan Publik

26 Agustus 2021   23:37 Diperbarui: 26 Agustus 2021   23:37 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 

Menunggu adalah pekerjaan paling membosankan. Apalagi yang ditunggu ialah sebuah kepastian. Kepastian akan gaji honorer yang belum dibayar selama delapan bulan!

Berlokasi di gedung DPRD Kabupaten Boven Digoel, Papua, sekelompok guru honorer yang merasa dikhianati oleh janji-janji, kini memberanikan diri untuk menyalurkan aspirasi sekaligus kekecewaan mereka di hadapan para pejabat publik yang bersembunyi di balik  tembok.

Berlandaskan keyakinan akan pemenuhan hak mereka sebagai pejuang pendidikan, para guru honorer berpacu dengan ruwetnya kebijakan yang harus diperdebatkan tanpa ujung. Jawabannya sudah jelas. Selama tiga hari berturut-turut mereka dipaksa mendengarkan rupa-rupa alasan yang diulang-ulang dari mulut ke mulut. Alasannya tetap sama seperti dijanjikan pada bulan sebelumnya.

Sayang memang. Tapi itulah keadaannya. Harus diakui bahwa para guru honorer telah menyatakan cinta dan bangga akan identitas dirinya. Keseharian hidup mereka sangat sulit, bahkan terbilang kering. Belum lagi diperparah dengan mahalnya kebutuhan hidup di Papua, ketiadaan aktivitas ekonomi lain di luar sekolah, atau bahkan tidak punya tabungan yang besar di bank. Guru honorer dipaksa bertahan. Mereka harus meredam serangan bertubi-tubi oleh janji-janji yang belum terealisasikan. Tapi sampai kapan mereka akan bertahan? Apakah janji-janji itu hanyalah kebohongan publik?

Perjuangan tanpa Kemuliaan 


Kita mungkin sepakat bahwa menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Menjadi guru adalah bukan pada perkara seberapa baik ia mengajar dan mendidik, melainkan pada identitas akan sosok pengajar. Sosok yang mampu membimbing peserta didik menuju cita-cita, meski hanya sebatas angan-angan.

Siapapun hari ini jika melihat kembali potret di masa lalu, terlihat jelas bahwa guru berperan besar membawa bangsa ini bebas dari ketertinggalan, pembodohan dan kemiskinan.  Ketertinggalan, pembodohan dan kemiskinan di saat-saat perjuangan kala itu adalah tembok yang harus diruntuhkan betapapun kokohnya! Peran besar guru selalu terngiang di telinga anak bangsa. Di saat itu, kecerdasan anak bangsa adalah tujuan utama. Cita-cita kemerdekaan hadir dalam bentuk kebebasan menjajal dunia pendidikan hingga ke ujung dunia. Tak ayal, guru menjadi sosok mulia, diberi nilai lebih dalam statusnya dan menjadi tokoh sentral yang tidak kalah penting dari pejabat pemerintahan.

Apa daya, setelah umur bangsa semakin dewasa, guru masih di tempat yang sama, masih tetap berjuang untuk memerdekakan orang lain, juga masih berjuang dengan harapan untuk hidup sejahtera. Lebih parahnya, kemuliaan dan keperkasaan itu seakan hilang ketika berbicara tentang guru honorer. Harapan adalah kekuatan mereka. Harapan mereka ibarat mimpi yang belum menjadi kenyataan.

Gambaran situasi guru honorer di kabupaten Boven Digoel merupakan salah satu scene sedih dari film pendidikan di Tanah Air. Masih banyak scene sedih lain yang sudah terungkap atau bahkan bosan untuk didengungkan oleh banyak tempat di Indonesia. Toh semuanya akan bermuara pada hasil yang sama: kecewa.

Lantas, apakah janji kesejahteraan yang dulu ditanamkan pada angan anak bangsa sudah kembali pada mereka sendiri?

 

Pertanyaan Tanpa Jawaban Pasti

Berbagai pertanyaan tentunya melayang-layang tentang para guru honorer di Tanah Air:

Apa rasanya menjadi guru honorer dengan gaji yang sangat di bawah standar? Apakah cukup dengan uang yang ada dapat memenuhi kebutuhan biologis setiap hari? Membayar listrik, pulsa dan bensin saja uang tersebut tidak akan cukup. Lantas bagaimana akan berpikir untuk menyekolahkan anak, membuat rumah atau jika tiba-tiba sakit, bagaimana mereka akan berobat? Apakah rumah sakit juga akan ikhlas melayani sama seperti guru honorer juga sudah ikhlas melayani, meski tidak membayar iuran BPJS?

Jika demikian, apa yang membuat guru honorer bertahan dan tetap bekerja, padahal gaji dan honor mereka sangat kecil? Mungkin salah satu indikasi hanyalah karena harapan akan diangkat jadi pegawai negeri di kemudian hari. Harapan suatu saat akan bekerja setengah hari dan mendapatkan gaji PNS. Atau memang banyak di antara para guru honorer yang tidak berani keluar dari zona nyaman? Keengganan untuk keluar karena mereka selalu dipuji-puji tugas mulia walaupun gaji kecil menjadikan mereka akan berputar dalam lingkaran zona nyaman yang menyengsarakan. Pada akhirnya mereka menyamankan diri dalam keadaan yang kurang nyaman. Mereka melihat tidak ada salahnya menjadi honorer karena banyak sekali rekan sejawat mereka yang mempunyai nasib yang sama.

Selanjutnya mengenai jam kerja yang didapatkan guru honorer sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa banyak guru PNS yang memanfaatkan guru honorer. Apalagi jika mereka dianggap masih muda, mempunyai hardskill dan softskill yang mumpuni. Meski beban kerja yang dialami guru honorer tidak sebanding dengan gaji yang diperoleh, mereka pun akan mengalami dilema. Mau menolak sungkan. Serba salah juga jika mau menunjukkan hardskill dan softskill yang dimiliki. Inginnya mengembangkan diri, tapi ujung-ujungnya bisa jadi dieksploitasi.

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, muncullah ocehan yang mengatakan bahwa "kalau mau kaya, jangan jadi guru honorer!". Seolah-olah absurd sekali rasanya ketika guru berbicara uang ataupun nominal gaji. Seolah-olah menjadi guru tidak boleh kaya dan sejahtera! 

Ini bukan lagi soal bangga menjadi guru honorer, yang dipuji punya kemampuan mumpuni, tapi soal kejelasan untuk menentukan jalan terbaik bagi guru honorer!

Quo Vadis Guru Honorer?

Menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Tapi menjadi guru honorer adalah pekerjaan tanpa status,  yang hanya bisa dijalani oleh orang-orang yang dipenuhi harapan. Harapan itu berbahaya. Sewaktu-waktu dapat meledak jika tidak dijinakkan.

Jika demikian, mau dibawa ke arah mana para guru honorer yang telah berjuang selama bertahun-tahun? Akan sangat tidak pantas jika status mereka disepelekan begitu saja. Mereka tidak perlu menunggu sekali dalam setahun untuk menentukan nasib mereka lewat tes CPNS! Mereka juga tidak perlu berjuang mati-matian demi gaji kecil yang tidak terbayarkan selama berbulan-bulan! Guru honorer bukan korban dari kebohongan publik para pemangku pemerintahan.

Meski demikian, para guru honorer juga harus bisa bercermin bahwa kebutuhan hidup bukan hanya dari gaji semata. Keberadaan mereka di hadapan anak bangsa bukan hanya sekadar mencerdaskan tetapi memberi sinyal kualitas, bahwa guru honorer juga berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun