Konferensi Pendidikan Inklusi Indonesia 2025 bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah titik temu dari ide, pengetahuan, dan pengalaman dari berbagai penjuru negeri---sebuah aksi nyata yang menunjukkan bahwa pendidikan inklusif adalah urusan bersama, bukan milik segelintir pihak. Dengan tema "Dua Dekade Pendidikan Inklusi di Indonesia: Pendidikan Bermutu untuk Semua" dan sub-tema "Inklusi dalam Aksi: Penguatan Dukungan Belajar dan Sistem Dukungan Pendidikan Inklusif", konferensi ini memberikan ruang bagi para pemikir, praktisi, dan pegiat pendidikan untuk menyatukan suara.
Salah satu momen penting adalah mendengarkan paparan dari Dr. Adi D. Adinugroho, pakar pendidikan inklusif dengan pengalaman internasional. Melalui materinya, Dr. Adi mengajak kita menengok perjalanan Indonesia dari Segregasi (2003) ke Integrasi (2025), hingga target besar Full Inklusif (2045). Beliau menegaskan, target itu hanya akan berarti jika diiringi langkah nyata yang konsisten, kolaboratif, dan berpihak pada semua anak.
Kerangka Menuju Full Inklusif
Dr. Adi menggambarkan tiga fase perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia:
-
Segregasi (2003) -- ABK dilayani terpisah di SLB.
Integrasi (2025) -- sebagian ABK sudah belajar di sekolah reguler, tapi sistem dukungan belum optimal.
Full Inklusif (2045) -- semua anak belajar bersama dalam sistem pendidikan yang setara dan adaptif.
Menurut beliau, 20 tahun adalah waktu yang panjang jika digunakan untuk menuju, tetapi akan sia-sia jika hanya dipakai untuk menunggu.
Pendidikan Inklusif vs Pendidikan Khusus
Dalam materinya, Dr. Adi juga menegaskan perbedaan mendasar:
Pendidikan inklusif: mencakup semua jenis kekhususan, dukungan ringan--sedang, kurikulum umum yang dimodifikasi, Universal Learning Design, dan layanan di sekolah reguler.
Pendidikan khusus: fokus pada jenis kekhususan tertentu, dukungan berat--sangat berat, kurikulum khusus, Specific Learning Design, dan layanan di SLB.