Mohon tunggu...
Husna Nadin Mayla Zulfa
Husna Nadin Mayla Zulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - if u can't do what u love, love what u do

Life is Unstoppable Learning

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic Positivity, Memaksa Berpikir Positif Bukan Solusi Terbaik

15 Maret 2021   22:58 Diperbarui: 15 Maret 2021   23:20 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.aboutselflove.com

Karena keyakinan pada berpikir positif hingga mengabaikan dan melawan emosi yang sedang dirasakan akan menjadi masalah dikemudian hari. Tidak hanya itu, hal tersebut tentu berbahaya, lantaran emosi yang terpendam karena dilawan bisa jadi keluar sewaktu-waktu dengan berbagai cara yang tidak menutup kemungkinan akan memperburuk keadaan.

Toxic positivity ini adalah bentuk toxic yang mungkin pernah kita lakukan  dan ketika kita melakukan itu, kita tidak tahu bahwa telah melakukan hal yang toxic. Hal ini karena banyak orang yang belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai apa itu toxic positivity. Banyak yang beranggapan bahwa dengan berpikir positif akan melegakan dan menyelesaikan permasalahan.

Padahal kenyataannya jika kita diminta dan terus memaksa untuk berpikir positif akan mengabaikan elemen penting dalam kehidupan manusia, yaitu suffering atau penderitaan yang merupakan bagian besar dalam hidup. Jika kita tidak menerima segala emosi kita dan memilih untuk memaksakan diri berpikir positif akan terjadi penekanan pada emosi yang sedang kita rasakan sendiri.

Dalam artikel "The Problem With Positive Thinking" yang ditulis oleh Gabriele Oettingen, sosok Profesor Psikologi di Universitas New York pada tahun 2014 menerangkan bahwa positive thinking justru kerap menghambat kita. Positive Thinking "membohongi" pikiran kita, adanya pemikiran ini membuat kita beranggapan seolah-olah kita sudah mencapai tujuan kita dan menggapai yang kita inginkan, sehingga melemahkan kesanggupan dan keuletan kita dalam berusaha mencapainya. Akan tetapi, meminta seseorang untuk hanya berpikir realistis juga bukan  berarti memberikan hasil yang baik.

Banyak para ahli yang mengkritik adanya keyakinan terhadap positive thinking ini. Oleh sebab itu, beberapa pakar melakukan eksperimen untuk mengatasi agar kita tidak hanya memaksakan untuk berpikir positif ketika sedang merasakan sebuah emosi

Mental Contrasting

Eksperimen ini dilakukan oleh Gabriele Oettingen. Ia melakukan beberapa penelitian dan menunjukkan, orang-orang yang menerapkan positive thinking dalam mencapai keinginan dan tujuannya justru sering kali  memperoleh hasil  yang tidak lebih baik daripada mereka yang tidak menerapkan positive thinking. 

Gabriele kemudian mengusungkan suatu pendekatan campuran atau eksperimen antara positive thinking (membayangkan apapun yang diharapkan sudah berhasil dicapai) dengan dibersamai memikirkan hambatan-hambatan atau rintangan yang akan terjadi dan ditemui dalam perjuangan mewujudkan apapun yang diinginkan. Eksperimen ini dinamakan "mental contrasting". 

Hasil dari eksperimen "mental contrasting" ini menuai pencapaian yang lebih baik dibandingkan dengan orang-orang yang hanya mebayangkan hal-hal positif saja atau hanya membayangkan hal-hal negatif saja.

Tragic Optimism

Alternatif ini dicetuskan oleh seorang psikolog Austria pada tahun 1985 dan mendefinisikan bahwa "Kemampuan untuk mempertahankan harapan dan menemukan makna dalam hidup, terlepas dari rasa sakit, kehilangan, dan penderitaan yang tak terhindarkan"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun