Mohon tunggu...
Djamaluddin Husita
Djamaluddin Husita Mohon Tunggu... Lainnya - Memahami

Blogger, Ayah 3 Putra dan 1 Putri. Ingin menyekolahkan anak-anak setinggi yang mereka mau. Mendorong mereka suka membaca dan menulis (Generasi muda harus diarahkan untuk jadi diri sendiri yang berkarakter).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekhilafan Bicara dalam Bulan Puasa

23 Agustus 2010   09:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_236282" align="alignleft" width="322" caption="Sumber: http://3.bp.blogspot.com/_Hg5o4lsAmKA/S_z-WD7YcxI/AAAAAAAAAgw/bFvu5E20CLs/s320/ngobrol.png"][/caption]

Kekhilafan atau khilaf merupakan istilah yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari yang umumnya diartikan kesalahan yang dilakukan tidak sengaja atau dalam keadaan tidak sadar. Biasanya kata-kata khilaf itu sering digunakan ketika menyertai permohonan maaf seseorang yang memang perbuatannya itu tidak disengaja atau bahkan karena sudah menyesal dengan apa yang telah dilakukannya. Maka sering kita mendengar: “Maafkan, atas kekhilafan saya”. Bahkan sering ditambah dengan kata-kata: “Benar-benar saya tidak sengaja melakukan itu”

Namun demikian, harus diakui juga terkadang kata-kata khilaf itu digunakan sebagai suatu trik untuk mengelabui seseorang agar perbuatan salah yang dilakukannya yang pada awalnya memang disengaja atau dilakukan dengan suatu perencanaan yang matang. Karena sudah ketahuan, agar orang lain tidak marah atau mau memberi maaf maka digunakanlah kata-kata khilaf ini. Karena itu, memang banyak yang yang tidak begitu serta merta mempercayai kata-kata khilaf pada kasus-kasus tertentu.

Dalam bulan puasa juga sering terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak disengaja. Misalnya pada awal-awal puasa, datang ke suatu tempat kemudian di sana ada minuman. Tetapi tanpa disengaja, mengambil air tersebut dan langsung minum. Kemudian tiba-tiba baru teringat, O…, saya berpuasa. Biasanya bila kejadian seperti itu terjadi dan memang benar-benar tidak disengaja maka hal ini tidak menjadi persoalan dan dibolehkan untuk melanjutkan berpuasa. Kecuali, setelah sadar lalu dilanjutkan lagi minum itu baru tidak boleh.

Atau yang lain, seperti membicarakan hal negatif tentang seseorang. Kebiasaannya ini sangat sering terjadi. Pada awalnya, memang tidak sengaja atau sambil cerita-cerita biasa lalu kemudian tanpa sengaja pembicaraan itu mengenai pribadi orang lain. Tetapi terkadang karena sudah ke-enakan bercerita maka terus panjang lebar sampai susah untuk dihentikannya.

Antara dua kasus di atas sangat jauh perbedaannya. Bila dalam kasus minum air khilaf itu berkaitan dengan diri sendiri tidak ada sangkut paut dengan orang lain. Tetapi pada kasus kedua, membicarakan hal-hal negatif untuk khusus orang lain. Dan, barangkali untuk kasus yang pertama, meskipun itu tanpa sengaja namun barangkali, ketidaksengajaan itu tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar.

Akan tetapi bagaimana dengan kekhilafan dalam membicarakan hal yang negatif terhadap orang lain, meskipun itu adalah khilaf namun kejelekan orang lain yang semestinya tidak boleh diketahui orang yang mengakibatkan aib dan malu bagi orang yang dibicarakan itu. Apakah kekhilafan seperti ini bisa di tolerir? Dalam konteks puasa apakah hal ini tidak menyebabkan puasa kita batal? Memang dalam hal ketidaksengajaan ini ada tiga kategori yang boleh dimaaf (yang tidak di kenakan hukum atau rafa’ qalam), yaitu anak-anak, orang tidur dan orang gila (tidak sadar). Hanya saja dapatkah membicarakan orang seperti yang telah kita ilustrasikan itu termasuk ke dalam salah satu yang dapat dimaafkan? Apalagi akibat dari kesalahan seperti itu dapat menimbulkan konflik yang lebih besar.

Membicarakan orang lain memang terkadang sesuatu hal yang tanpa sengaja  sering kita lakukan. Padahal dalam Islam selalu diingatkan untuk selalu berhati-hati berkaitan dengan hal yang kita maksudkan ini. Bahkan kita selalu dianjurkan untuk berhati-hati menggunakan lisannya atau lidahnya. Ada kata hikmah yang mengatakan  lidah adalah harimau bagimu. Artinya kita harus berhati-hati menggunakan lidah terutama dalam rangka membicarakan kejelekan-kejelekan orang.  Dan,  akibat dari kesalahan menggunakan lidah (lisan) maka akan berakibat fatal bagi kita sendiri dan orang lain. Dalam sebuah hadist disebutkan: Assumtu hikmaton waqalilon fa’iluhu artinya diam itu hikmah, sangat sedikit orang mengerjakannya.

Makanya berkaitan dengan bulan puasa agar puasa kita tidak rusak akibat penggunaan lidah dalam kata-kata lebih baik sebelum mengeluarkan setiap kata lewat harus dipikirkan matang-matang terlebih dahulu. Apakah setiap ucapan yang dikeluarkan itu cukup bermanfaat atau tidak bermanfaat sama sekali.  Menghindari hal-hal yang tidak diingini sehingga tidak banyak mengeluarkan kata-kata tidak penting terutama dalam bulan ramadhan ini yang perlu dilakukan, misalnya menghindari berkumpul dengan teman-teman yang sering membuat kita khilaf seperti yang dimaksudkan. Banyak beri’tikaf di mesjid sambil berzikir menyebut asmaNya.

Pertanyaannya adalah apakah hal seperti itu dibolehkan untuk dikerjakan pada bulan-bulan bukan bulan puasa? Sama sekali tidak dibolehkan. Tetapi menahan diri pada bulan puasa maka ini akan menjadi pembelajaran bagi kita untuk kemudian dapat diaplikasikan pada bulan-bulan yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun