Mohon tunggu...
Dr. Husaini Alif Hasan Ibn Haytar
Dr. Husaini Alif Hasan Ibn Haytar Mohon Tunggu... -

masyarakat biasa yang senang menulis dan tertarik akan sejarah dan perkembangan sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kerusakan Akhlak di Tanah Para Wali

9 Juli 2012   02:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Ujung sebelah barat Nusantara, Aceh, tanah lahirnya para wali penyebar agama Islam Nusantara tengah mengalami degradasi moral dan ahklak yang sangat memprihatinkan. Setiap hari media-media lokal maupun nasional memberitakan berbagai kemudharatan yang terjadi di Serambi Mekah yang tidak terjadi di tempat lain setiap harinya. Ada pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan bapak kepada anak, kekerasan, korupsi, intimidasi, kesewenang-wenangan, dan berbagai peristiwa tragis lainnya yang memilukan hati hingga menyisakan pertanyaan, ada apa dengan akhlak dan moral di tanah para wali ini?

Kerusakan akhlak berakibat pada rusaknya tatanan kehidupan lainnya. Di level penyelenggara negara misalnya, kerusakan akhlak menyebabkan tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme, buruknya mutu dan kualitas pelayanan publik yang pada akhirnya menghancurkan kehidupan masyarakat kita karena fungsi pemerintah sebagai pelayan sudah tidak berjalan.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, rusaknya akhlak menyebabkan para pemuda kehilangan jati diri, seringnya terjadi perkelahian dan tawuran antara mereka. Pembunuhan, perkelahian antaranggota masyarakat juga merupakan efek langsung rusaknya fondasi akhlak sebuah bangsa. Kerusakan akhlak di level pemerintahan dan masyarakat ini adalah fakta yang jelas terlihat saat ini.

Maka, pernyataan Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf yang akan memprioritaskan perbaikan akhlak di bawah kepemimpinannya adalah hal yang patut diapresiasi sekaligus menjadi sebuah ironi dan perlu ditelaah lebih dalam guna instropeksi ke dalam, khususnya ketauladanan beliau dalam memimpin partainya. Sebagaimana diketahui, bahwa kader-kader partainyalah yang justru banyak terlibat berbagai kemudharatan di Aceh. Dalam Islam, program perbaikan akhlak manusia adalah tujuan terbesar Muhammad diangkat sebagai rasul. Betapa tidak, akhlak merupakan roh Islam dimana agama tanpa akhlak adalah seperti jasad yang tidak bernyawa. Akhlak adalah komponen fundamental dalam Islam di samping syariah dan akidah.

Allah SWT mengumpamakan Islam itu sebagai sebuah pohon, yaitu akidah sebagai akarnya, syariah sebagai pohon dan rantingnya, sedangkan akhlak sebagai buah dari pohon tersebut di dalam firmanNya:  “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit; Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat; Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (QS. Ibrahim ayat 24-26).

Akhlak pemerintah

Pentingnya pembangunan berbasis akhlak adalah hal mendesak apabila kita melihat kondisi terakhir bangsa ini yang sedang dihimpit berbagai kenestapaan yang mendera karena hancurnya akhlak para aparatur negara. Para elit negeri ini terus saja menampilkan budaya ketidakjujuran dalam penyelenggaraan negara.

Praktik korupsi yang menjadi sebab utama kehancuran bangsa ini terus membudaya sehingga tidak heran jika sebuah lembaga nirlaba international, The Fund for Peace dalam situs resminya meletakkan Indonesia di urutan ke 63 dari 178 negara sebagai negara gagal. Survei The Fund for Peace menggunakan indikator hukum, politik, ekonomi, sosial, dan HAM. Hasilnya, Indonesia bukan hanya akan gagal, tapi juga bisa hilang dari peta dunia.

Di level Aceh, Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh merilis sebanyak Rp 1,7 triliun dana publik selama 2011 terindikasi korupsi. Kasus-kasus merugikan masyarakat dan negara yang diperankan aparatur negara seakan menjadi hal biasa.

Beberapa kepala daerah dan kepala dinas di Aceh terindikasi korupsi, beberapa di antaranya sudah mendekam di balik jeruji besi. Di sisi lain, pembahasan RAPBA oleh legislatif setiap tahun selalu terlambat sehingga setiap tahun pula anggaran APBA selalu harus masuk SILPA. Kondisi ini konon kabarnya merupakan ekses dari adanya kepentingan besar para wakil rakyat di legislatif terhadap APBA. Talik ulur yang terjadi adalah karena kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Ini merupakan salah satu akhlak yang tercela yang diperankan legislatif Aceh.

Kerusakan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan pemerintah juga terlihat jelas misalnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah tangan manusia sebagai akibat ketika akhlak telah rusak. Contohnya penebangan hutan secara illegal, penambangan yang tidak mengindahkan prosedur, dan pembuangan sampah sembarangan yang mengakibatkan kerusakan besar yang sifatnya mikro yaitu timbulnya bencana, seperti banjir, dan tanah longsor, atau yang sifatnya makro yaitu pemanasan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun