Di Ujung sebelah barat Nusantara, Aceh, tanah lahirnya para wali penyebar agama Islam Nusantara tengah mengalami degradasi moral dan ahklak yang sangat memprihatinkan. Setiap hari media-media lokal maupun nasional memberitakan berbagai kemudharatan yang terjadi di Serambi Mekah yang tidak terjadi di tempat lain setiap harinya. Ada pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, pelecehan bapak kepada anak, kekerasan, korupsi, intimidasi, kesewenang-wenangan, dan berbagai peristiwa tragis lainnya yang memilukan hati hingga menyisakan pertanyaan, ada apa dengan akhlak dan moral di tanah para wali ini?
Kerusakan akhlak berakibat pada rusaknya tatanan kehidupan lainnya. Di level penyelenggara negara misalnya, kerusakan akhlak menyebabkan tumbuh suburnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme, buruknya mutu dan kualitas pelayanan publik yang pada akhirnya menghancurkan kehidupan masyarakat kita karena fungsi pemerintah sebagai pelayan sudah tidak berjalan.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, rusaknya akhlak menyebabkan para pemuda kehilangan jati diri, seringnya terjadi perkelahian dan tawuran antara mereka. Pembunuhan, perkelahian antaranggota masyarakat juga merupakan efek langsung rusaknya fondasi akhlak sebuah bangsa. Kerusakan akhlak di level pemerintahan dan masyarakat ini adalah fakta yang jelas terlihat saat ini.
Maka, pernyataan Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf yang akan memprioritaskan perbaikan akhlak di bawah kepemimpinannya adalah hal yang patut diapresiasi sekaligus menjadi sebuah ironi dan perlu ditelaah lebih dalam guna instropeksi ke dalam, khususnya ketauladanan beliau dalam memimpin partainya. Sebagaimana diketahui, bahwa kader-kader partainyalah yang justru banyak terlibat berbagai kemudharatan di Aceh. Dalam Islam, program perbaikan akhlak manusia adalah tujuan terbesar Muhammad diangkat sebagai rasul. Betapa tidak, akhlak merupakan roh Islam dimana agama tanpa akhlak adalah seperti jasad yang tidak bernyawa. Akhlak adalah komponen fundamental dalam Islam di samping syariah dan akidah.
Allah SWT mengumpamakan Islam itu sebagai sebuah pohon, yaitu akidah sebagai akarnya, syariah sebagai pohon dan rantingnya, sedangkan akhlak sebagai buah dari pohon tersebut di dalam firmanNya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit; Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat; Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. (QS. Ibrahim ayat 24-26).
Akhlak pemerintah
Pentingnya pembangunan berbasis akhlak adalah hal mendesak apabila kita melihat kondisi terakhir bangsa ini yang sedang dihimpit berbagai kenestapaan yang mendera karena hancurnya akhlak para aparatur negara. Para elit negeri ini terus saja menampilkan budaya ketidakjujuran dalam penyelenggaraan negara.
Praktik korupsi yang menjadi sebab utama kehancuran bangsa ini terus membudaya sehingga tidak heran jika sebuah lembaga nirlaba international, The Fund for Peace dalam situs resminya meletakkan Indonesia di urutan ke 63 dari 178 negara sebagai negara gagal. Survei The Fund for Peace menggunakan indikator hukum, politik, ekonomi, sosial, dan HAM. Hasilnya, Indonesia bukan hanya akan gagal, tapi juga bisa hilang dari peta dunia.
Di level Aceh, Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh merilis sebanyak Rp 1,7 triliun dana publik selama 2011 terindikasi korupsi. Kasus-kasus merugikan masyarakat dan negara yang diperankan aparatur negara seakan menjadi hal biasa.
Beberapa kepala daerah dan kepala dinas di Aceh terindikasi korupsi, beberapa di antaranya sudah mendekam di balik jeruji besi. Di sisi lain, pembahasan RAPBA oleh legislatif setiap tahun selalu terlambat sehingga setiap tahun pula anggaran APBA selalu harus masuk SILPA. Kondisi ini konon kabarnya merupakan ekses dari adanya kepentingan besar para wakil rakyat di legislatif terhadap APBA. Talik ulur yang terjadi adalah karena kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan rakyat. Ini merupakan salah satu akhlak yang tercela yang diperankan legislatif Aceh.
Kerusakan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan pemerintah juga terlihat jelas misalnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan ulah tangan manusia sebagai akibat ketika akhlak telah rusak. Contohnya penebangan hutan secara illegal, penambangan yang tidak mengindahkan prosedur, dan pembuangan sampah sembarangan yang mengakibatkan kerusakan besar yang sifatnya mikro yaitu timbulnya bencana, seperti banjir, dan tanah longsor, atau yang sifatnya makro yaitu pemanasan global.
Pemanasan global telah menyebabkan perubahan cuaca dan iklim. Kerusakan akhlak yang diperankan oleh pemerintah yang seharusnya bisa diminimalisir oleh pemerintah ini telah menyebabkan masyarakat kita hidup dalam penderitaan.
Akhlak masyarakat
Selain kerusakan di level pemerintah, kerusakan juga terjadi di level masyarakat. Tindakan kekerasan yang semakin sering terjadi, tindakan amoral yang terjadi antar sesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga.
Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang pembunuhan, perampokan, pergaulan bebas, pencabulan, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya. Karena terlalu sering hal ini kita dengar sampai-sampai kita terbiasa dan kita seakan menganggapnya legal dan sesuai dengan norma kesusilaan. Padahal kita hidup dalam negara yang diklaim sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar sedunia. Juga diklaim sebagai negara hukum, negara bermoral, negara dengan masyarakatnya yang religius, beradab dan klaim-klaim indah lainnya yang apabila didengar sangat menyejukkan hati.
Banyaknya kerusakan akhlak yang terjadi sesungguhnya bukan karena kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial.
Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tentram, tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari sini juga dapat dipahami bahwa pada dasarnya syariat agama hanya untuk kebaikan dan kepentingan manusia. Tuhan sama sekali tidak mempunyai kepentingan sedikitpun akan syariat-NYA. (Imam Mustafa, 2008).
Jalur pendidikan
Kalau kita kaji secara mendalam, pada dasarnya kehancuran akhlak bangsa ini ini merupakan ekses panjang pasca-penjajahan Belanda yang berhasil melakukan sekulerisasi pendidikan di nusantara, pendidikan agama di satu sisi dan pendidikan umum di sisi lain. Akibat dikotomi ini sehingga Islam dipahami hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan spriritual. Agama sebagai sumber moralitas menjadi terpinggirkan dari realitas kehidupan dan sistem pendidikan. Maka jalan terbaik untuk memperbaiki akhlak adalah jalur pendidikan.
Kita mungkin berfikir sulit untuk mengubah mental generasi tua saat ini menuju akhlak yang dicita-citakan Rasulullah, tapi kita punya kesempatan besar untuk bisa membentuk akhlak generasi muda Aceh sesuai dengan akhlak Islam. Dan jalurnya adalah lewat pendidikan Islam yang mengintegrasi nilai-nilai Islam dalam semua aspek pembelajaran di sekolah.
Mata pelajaran di sekolah harus diformat ulang agar sesuai dengan konteks lokal Aceh yang mendambakan syariat Islam mengatur semua sendi kehidupan kita. Sudah saatnya pula kita memproduksi sendiri buku-buku mata pelajaran di sekolah yang didesain khusus agar terintegrasi dengan nilai-nilai Islam.
Sementara di sisi lain, dalam mengubah akhlak aparatur negara, pemimpin baru Aceh harus mengawalinya dari diri sendiri, keluarga dan kelompok kita. Karena Rasulullah mengajarkan kita bahwa jika kita ingin mengubah orang maka kita harus terlebih dahulu merubah diri hal-hal yang paling dekat dengan kita.
Pemimpin baru Aceh harus lebih banyak mendengar dan bekerja daripada berbicara. Dengarlah pendapat rakyat saat ada kesempatan berbicara dengan mereka. Ikuti semua petunjuk ulama. Hiduplah secara sederhana selagi kita memiliki kekuasaan karena hal itu akan menjadi teladan mulia bagi masyarakat kita. Semarakkan pengajian-pengajian dan hidupkan shalat berjamaah di setiap instansi pemerintah hingga ke level gampong. Wallahu alam bishshawab.
Dr. Husaini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI