Pemanasan global telah menyebabkan perubahan cuaca dan iklim. Kerusakan akhlak yang diperankan oleh pemerintah yang seharusnya bisa diminimalisir oleh pemerintah ini telah menyebabkan masyarakat kita hidup dalam penderitaan.
Akhlak masyarakat
Selain kerusakan di level pemerintah, kerusakan juga terjadi di level masyarakat. Tindakan kekerasan yang semakin sering terjadi, tindakan amoral yang terjadi antar sesama anggota masyarakat atau bahkan sesama anggota keluarga.
Hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang pembunuhan, perampokan, pergaulan bebas, pencabulan, aborsi, penggunaan obat-obatan terlarang dan lain sebagainya. Karena terlalu sering hal ini kita dengar sampai-sampai kita terbiasa dan kita seakan menganggapnya legal dan sesuai dengan norma kesusilaan. Padahal kita hidup dalam negara yang diklaim sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar sedunia. Juga diklaim sebagai negara hukum, negara bermoral, negara dengan masyarakatnya yang religius, beradab dan klaim-klaim indah lainnya yang apabila didengar sangat menyejukkan hati.
Banyaknya kerusakan akhlak yang terjadi sesungguhnya bukan karena kegagalan agama dalam membangun masyarakat bermoral, melainkan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dalam kehidupan sosial.
Agama hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang menyediakan pahala dan dosa, ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang wujudnya bersifat abstrak. Padahal, selain mengandung aturan legal formal (yang jumlahnya amat sedikit), agama mempunyai ajaran moral yang merupakan inti, sebagai perangkat untuk menciptakan masyarakat yang ideal, aman, tentram, tertib, dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari sini juga dapat dipahami bahwa pada dasarnya syariat agama hanya untuk kebaikan dan kepentingan manusia. Tuhan sama sekali tidak mempunyai kepentingan sedikitpun akan syariat-NYA. (Imam Mustafa, 2008).
Jalur pendidikan
Kalau kita kaji secara mendalam, pada dasarnya kehancuran akhlak bangsa ini ini merupakan ekses panjang pasca-penjajahan Belanda yang berhasil melakukan sekulerisasi pendidikan di nusantara, pendidikan agama di satu sisi dan pendidikan umum di sisi lain. Akibat dikotomi ini sehingga Islam dipahami hanya berkutat mengurusi persoalan ritual dan spriritual. Agama sebagai sumber moralitas menjadi terpinggirkan dari realitas kehidupan dan sistem pendidikan. Maka jalan terbaik untuk memperbaiki akhlak adalah jalur pendidikan.
Kita mungkin berfikir sulit untuk mengubah mental generasi tua saat ini menuju akhlak yang dicita-citakan Rasulullah, tapi kita punya kesempatan besar untuk bisa membentuk akhlak generasi muda Aceh sesuai dengan akhlak Islam. Dan jalurnya adalah lewat pendidikan Islam yang mengintegrasi nilai-nilai Islam dalam semua aspek pembelajaran di sekolah.
Mata pelajaran di sekolah harus diformat ulang agar sesuai dengan konteks lokal Aceh yang mendambakan syariat Islam mengatur semua sendi kehidupan kita. Sudah saatnya pula kita memproduksi sendiri buku-buku mata pelajaran di sekolah yang didesain khusus agar terintegrasi dengan nilai-nilai Islam.
Sementara di sisi lain, dalam mengubah akhlak aparatur negara, pemimpin baru Aceh harus mengawalinya dari diri sendiri, keluarga dan kelompok kita. Karena Rasulullah mengajarkan kita bahwa jika kita ingin mengubah orang maka kita harus terlebih dahulu merubah diri hal-hal yang paling dekat dengan kita.