Pada hari Ahad (12/10/2025) yang damai, mentari pagi menyapa saya dalam sebuah perjalanan yang selalu terasa seperti pulang. Berjarak tak lebih dari tiga kilometer dari rumah saya di Desa Angkinang Selatan.
Saya menyusuri jalanan aspal yang membelah hamparan hijau, menuju ketenangan Dusun Pakuan Pematang, Desa Bamban Selatan, Kecamatan Angkinang, Hulu Sungai Selatan (HSS).Â
Ini bukan sekadar perjalanan biasa, ini adalah ziarah hati. Perjalanan yang penuh dengan Cinta. Cinta pada alam yang memeluk erat, pada lingkungan pedesaan yang meneduhkan jiwa.
Pada kedamaian yang terasa begitu otentik. Langkah demi langkah, irama motor yang pelan menjadi satu-satunya 'musik' yang mengiringi.Â
Di kanan-kiri, sawah dan semak-semak tumbuh liar, bersahutan dengan deretan pohon kelapa yang menjulang---seperti barisan penjaga yang ramah.Â
Rumah-rumah kayu sederhana beratap merah, seolah bersembunyi malu-malu di balik rimbunnya hutan tropis, menjadi saksi bisu denyut kehidupan yang pelan namun pasti.Â
Namun, di tengah semua kehijauan dan kerindangan itu, mata saya terpaku pada satu pemandangan : Sebatang Pohon Kokoh. Pohon itu berdiri tegak, tepat di tengah garis pandang, seolah menjadi portal antara masa lalu dan masa kini.Â
Ranting-rantingnya mencuat ke langit biru yang jernih, kering, tanpa sehelai pun daun yang menaungi. Ia telanjang, namun bukan karena kalah. Ia justru tampak perkasa, menantang teriknya matahari. Saya berhenti. Ada keheningan yang dalam dari keberadaannya.Â
Ia dikelilingi oleh kesuburan, oleh kelapa-kelapa yang rimbun, oleh rumput yang hijau. Ia sendiri adalah kontras yang menusuk kalbu. Pohon ini mengajarkan banyak hal. Ia adalah simbol Ketahanan dan Keikhlasan.Â
Mungkin ia sedang beristirahat, mengumpulkan kembali energinya untuk tunas baru di musim yang akan datang. Atau, mungkin ia adalah monumen yang mengingatkan kita bahwa hidup itu tak selalu tentang keramaian daun dan buah yang lebat.Â