Pagi itu, Senin (28/07/2025), udara di sekitaran RT 3 Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), masih memeluk dingin khas dini hari.Â
Matahari belum sepenuhnya naik, sinarnya baru sebatas janji samar yang membiaskan cahaya lembut di sela-sela awan tipis.Â
Di tengah sejuk yang mengigit, saya tiba di area halaman depan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 HSS, tempat di mana sehari-hari riuh tawa dan semangat belajar membentang.Â
Inilah momen yang paling jujur, momen yang jarang disaksikan mata. Saat saya menjejakkan kaki di halaman depan, sebuah sunyi yang nyaring langsung menyambut.Â
Bukan sunyi yang mati, melainkan sunyi yang penuh antisipasi, menyimpan energi besar yang sebentar lagi akan meledak menjadi kehidupan.Â
Pandangan mata saya menyusuri sepanjang jalan paving block abu-abu yang terhampar rapi, membentuk pola geometris yang seolah tak bertepi.Â
Jalan ini, yang sebentar lagi akan dijejali langkah-langkah kecil berlari, sepatu pantofel yang tergesa, dan derap langkah mantap para pendidik, kini terhampar kosong dan mulia. Di sisi kiri, rimbun dedaunan hijau, tinggi menjulang, menjadi pagar alam yang asri.Â
Mereka berdiri sebagai saksi bisu, menghela napas lega setelah semalaman diguyur embun. Sementara di sisi kanan, barisan bangunan madrasah dengan teras berlantai kuning dan dinding hijau cerah tampak khidmat dalam keheningan.Â
Pot-pot tanaman semak yang tertata di balik dinding rendah berwarna hijau-merah itu seolah baru saja mandi, daun-daunnya memantulkan kilau basah yang sejuk. Di sinilah letak sentuhan emosionalnya: tempat ini adalah panggung tanpa aktor.Â
Para guru, staf Tata Usaha, dan yang paling utama, ratusan siswa-siswi belahan jiwa madrasah ini, masih berada dalam kehangatan rumah mereka masing-masing. Mereka belum hadir, namun esensi kehadiran mereka terasa begitu kuat.Â