Pada Jumat (10/10/2025) siang, adalah hari Jumat yang berbeda. Setelah menunaikan kewajiban shalat Jumat dan sejuknya air wudhu masih terasa, langkah kaki saya terasa ringan namun dipenuhi kesadaran akan hakikat kehidupan.Â
Tujuan saya dekat, hanya berjarak sepuluh meter dari pintu rumah, menuju kediaman tetangga kami, Ibu Dewi. Kami tinggal satu kampung, tepatnya berada di sekitaran RT 1 Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.Â
Bukan kunjungan biasa, hari ini adalah hari penting bagi keluarga Ibu Dewi. Mereka mengadakan "Manyaratus", peringatan seratus hari berpulangnya salah satu anggota keluarga tercinta, Almarhum Ardiansyah bin Bahtiar.Â
Saya berjalan kaki, menapaki jarak singkat itu, namun hati saya seolah menempuh perjalanan yang lebih jauh, sebuah refleksi tentang waktu, kehilangan, dan keabadian. Saat memasuki rumah, aura khidmat langsung menyelimuti.Â
Tercipta harmoni yang terasa hangat dan penuh pengharapan. Di tengah kesibukan tuan rumah menyambut para tamu, tergambar jelas ketegaran dan keikhlasan Ibu Dewi dan keluarga. Inti dari pertemuan ini bukanlah perjamuan, melainkan untaian doa yang dilantunkan bersama.Â
Lantunan itu adalah jembatan spiritual yang kami yakini dapat menjangkau Almarhum. Acara dibuka dengan pembacaan Surah Yasin yang dipimpin oleh saudara Dayat. Setiap huruf, setiap ayat yang dilantunkan terasa meresap dalam keheningan.Â
Bukan sekadar membaca, tetapi menghayati pesan-pesan suci, memohon rahmat dan ampunan bagi yang telah tiada. Setelah itu, alunan Tahlil mengambil alih, dipandu oleh Bapak Asmuni. Suara Tahlil yang berulang dan berirama itu menciptakan gelombang energi spiritual.Â
Seolah kami, yang masih hidup, sedang mengantar bekal terbaik untuk perjalanan abadi Almarhum. Puncaknya, Doa Arwah yang dibawakan oleh H Mastur menutup rangkaian ibadah.Â
Doa ini terasa paling menyentuh ; sebuah permohonan tulus agar pahala dari seluruh rangkaian acara Manyaratus ini benar-benar dihadiahkan kepada Almarhum Ardiansyah.Â
Saya memejamkan mata sejenak, membayangkan kebahagiaan yang mungkin dirasakan Almarhum di alam sana, saat bekal doa dari orang-orang terkasih ini sampai.Â
Setelah hati dan jiwa diisi dengan lantunan doa, tiba saatnya tuan rumah menjamu para undangan. Jamuan ini bukan sekadar mengisi perut, melainkan simbol keramahan dan rasa terima kasih keluarga kepada kami yang telah hadir mendoakan.Â
Menu yang disajikan sederhana namun penuh makna : nasi putih hangat, ditemani lauk ayam yang lezat, dan dihangatkan oleh teh manis. Semuanya terasa nikmat, bukan karena kemewahan, tetapi karena disajikan dalam suasana penuh berkah.Â
Sebagai penutup yang menyegarkan, ada iris-irisan semangka sebagai cuci mulut. Semangka merah nan segar ini seolah mewakili harapan akan masa depan yang cerah dan ketenangan.Â
Manyaratus ini, lebih dari sebuah tradisi, adalah perwujudan kasih sayang yang melintasi batas kehidupan dan kematian. Ini adalah pengingat kolektif bahwa kita semua adalah musafir di dunia.Â
Doa-doa yang kami panjatkan hari ini adalah bekal terbaik. Bukan harta benda, bukan pula jabatan, melainkan pahala dan ampunan yang kami kirimkan.Â
Harapan terbesar kami semua, para tetangga dan kerabat yang hadir, adalah agar Almarhum Ardiansyah bin Bahtiar mendapatkan kelapangan di alam barzah. Agar segala amal baiknya diterima, segala khilafnya diampuni, dan mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.Â
Mengakhiri hari Jumat yang suci ini, saya pulang dengan hati yang lebih damai. Sepuluh meter perjalanan kembali terasa lebih sunyi, namun penuh dengan pemahaman baru.Â
Kematian adalah nasihat terbaik. Dan cinta, diwujudkan dalam doa, adalah warisan paling abadi yang bisa kita berikan. Semoga Almarhum Ardiansyah tenang dalam rahmat-Nya. Al-Fatihah. (ahu)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI