Mohon tunggu...
Jurnalis Cendekia
Jurnalis Cendekia Mohon Tunggu... Aktivis-Ekonom-Penulis

Cogito Ergo Sum ; Aku berpikir maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Refleksi Historis dan Prospek Penegakan HAM dalam Delapan Dekade Indonesia Merdeka

17 Agustus 2025   23:39 Diperbarui: 17 Agustus 2025   23:39 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Ahmad Syaifullah

Delapan dekade setelah Indonesia merdeka, perjalanan bangsa dalam menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencakup mulai dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, hingga hak-hak sipil dan politik, masih menjadi isu sentral dalam dinamika sosial-politik. Meski konstitusi dan berbagai instrumen hukum telah menjamin perlindungan HAM, praktik di lapangan tetap menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Perayaan 80 tahun kemerdekaan karenanya menjadi momentum refleksi dan evaluasi serius atas capaian serta kelemahan yang ada dalam upaya penegakan HAM di Indonesia.

Sejarah penegakan HAM di Indonesia mencatat berbagai peristiwa penting yang memengaruhi arah kebijakan negara. Mulai dari era awal kemerdekaan yang diwarnai perjuangan mempertahankan kedaulatan, hingga masa-masa kelam pelanggaran HAM berat, semuanya membentuk mozaik perjalanan panjang bangsa. Setiap periode pemerintahan membawa pola dan warna berbeda dalam merespons tuntutan perlindungan HAM.

Pada era Orde Lama, prioritas pembangunan bangsa lebih menekankan pada konsolidasi politik dan ideologi nasional. Isu HAM belum menjadi perhatian utama, karena stabilitas negara dianggap sebagai kebutuhan mendesak. Situasi ini menjadikan pembahasan HAM cenderung terbatas pada ranah normatif tanpa implementasi yang jelas.

Berbeda dengan Orde Baru, isu HAM justru mendapat perhatian khusus seiring dengan berbagai kasus pelanggaran yang muncul. Peristiwa seperti tragedi 1965, penembakan misterius, dan konflik di Timor Timur menjadi catatan hitam yang masih diperdebatkan hingga kini. Meski pada akhir masa kekuasaan rezim ini mulai membuka ruang dialog, banyak kasus tetap belum terselesaikan.

Reformasi 1998 menjadi titik balik penting bagi penegakan HAM di Indonesia. Amandemen UUD 1945 memperkuat jaminan konstitusional terhadap HAM, termasuk lahirnya Komnas HAM sebagai institusi independen. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun menjadi tonggak hukum penting yang menegaskan komitmen negara.

Sejak reformasi, masyarakat sipil semakin aktif mendorong agenda HAM melalui gerakan advokasi, pendidikan publik, hingga pengawasan kebijakan. Namun, meskipun ruang demokrasi lebih terbuka, pelanggaran HAM belum sepenuhnya hilang. Kasus-kasus kekerasan terhadap aktivis, konflik agraria, hingga diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih kerap terjadi.

Dalam konteks internasional, Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM penting, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang merupakan perjanjian multilateral yang mengikat negara-negara untuk menghormati hak-hak sipil dan politik individu. Ini mencakup hak untuk hidup, kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, hak elektoral, dan hak atas proses hukum yang adil. Selain itu juga terdapat Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR). Perjanjian ini mewajibkan negara-negara untuk melindungi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya. Hak-hak ini meliputi hak atas pekerjaan, kesehatan, pendidikan, dan standar hidup yang layak.

Hal tersebut menunjukkan komitmen formal negara dalam mendukung standar global perlindungan HAM. Namun, implementasi di tingkat domestik masih menghadapi hambatan struktural dan kultural. Salah satu contoh kasus yang mencerminkan hambatan struktural dan kultural dalam implementasi HAM di Indonesia adalah konflik agraria di berbagai daerah, seperti yang terjadi di Rempang, Kepulauan Riau. Meskipun pemerintah telah meratifikasi instrumen internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, praktik di lapangan menunjukkan adanya benturan antara kepentingan pembangunan dengan hak masyarakat adat atas tanah dan ruang hidup mereka. Aparat keamanan kerap diturunkan untuk mengamankan proyek strategis nasional, sementara aspirasi warga seringkali terabaikan, bahkan berujung pada tindakan represif. Kasus ini memperlihatkan bahwa meskipun secara formal Indonesia telah berkomitmen pada standar global HAM, realitas domestik masih dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dan budaya birokratis yang memandang pembangunan fisik lebih penting dibanding perlindungan hak dasar warga.

Perjalanan 80 tahun ini juga memperlihatkan tantangan dalam menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat. Banyak kasus masa lalu belum menemukan titik terang penyelesaian, baik melalui jalur yudisial maupun non-yudisial. Kegagalan ini memunculkan kekecewaan dan menimbulkan luka sosial yang sulit dipulihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun