Oleh: Â Ahmad Syaifullah
Ketegangan antara hak ulayat masyarakat adat dan kepentingan investasi di Indonesia terus meningkat, seiring masifnya pembangunan proyek strategis nasional (PSN) dan ekspansi korporasi besar. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, sepanjang 2023 terjadi 241 kasus konflik agraria. Dari jumlah itu, 115 kasus terkait langsung dengan PSN, yang mencakup area seluas 516.409 hektare dan berdampak pada lebih dari 85.555 keluarga.
Di tengah eskalasi konflik tersebut, mediasi dianggap sebagai salah satu jalan keluar yang paling realistis. Peneliti dari Universitas Indonesia, Ratih Lestarini, mendorong adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang adil melalui pendekatan pluralisme hukum, yakni dengan menggabungkan prinsip hukum adat dan hukum negara. Sayangnya, hingga kini, pendekatan tersebut belum memiliki landasan hukum yang kuat.
Salah satu persoalan mendasar yang memicu konflik adalah belum optimalnya sistem verifikasi dan registrasi tanah ulayat. Seperti disebutkan dalam penelitian Lubis dan tim (2022), Indonesia masih belum memiliki sistem pendaftaran tanah adat yang modern dan transparan. Akibatnya, wilayah adat kerap dianggap sebagai tanah negara dan mudah saja dialihkan, termasuk melalui pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pengelolaan Lahan (HPL), tanpa konsultasi dengan masyarakat adat.
Upaya untuk memperbaiki situasi itu mulai terlihat. Menteri ATR/BPN Pada Oktober 2023, menegaskan bahwa penerbitan sertifikat hak pengelolaan atas tanah ulayat dapat memberikan kepastian hukum, baik bagi masyarakat adat maupun investor. Namun hal ini hanya bisa dilakukan jika status tanah sudah jelas dan bersih dari sengketa.
Meski demikian, penerapan model HPL atas tanah ulayat menuai banyak kritik. Akademisi dari Universitas Gadjah Mada, Rikardo Simarmata (2024), menilai skema ini memang bisa mempermudah aktivitas bisnis, tetapi di sisi lain justru membuka celah bagi hilangnya kontrol masyarakat adat atas tanah mereka, terutama jika pengawasan tidak dijalankan dengan ketat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pengakuan terhadap wilayah adat masih jauh dari ideal. Setara Institute (2023) mencatat, sekitar 23,17 juta hektare atau sekitar 86% wilayah adat di Indonesia belum diakui secara resmi oleh pemerintah. Ironisnya, dalam periode 2018 hingga 2022, sekitar 2.400 hektare tanah ulayat justru dialihkan untuk proyek kehutanan sosial tanpa kejelasan posisi masyarakat adat.
Salah satu contoh nyata eskalasi konflik terjadi di Pulau Rempang. Proyek techno park di wilayah itu memicu penolakan besar-besaran dari masyarakat Melayu setempat, yang berujung pada aksi represif, termasuk penggunaan gas air mata di sekitar area sekolah sebagai upaya membubarkan demonstrasi.
Pengamat hukum adat dari Universitas Pattimura, Marshin Talahatu (2024), menjelaskan bahwa HPL sejatinya adalah bentuk pengakuan negara terhadap tanah ulayat. Namun, minimnya keterlibatan masyarakat adat dalam proses negosiasi kontrak telah memicu ketegangan baru antara komunitas adat dan investor. Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUU MHA) yang diharapkan menjadi payung hukum penyelesaian konflik dan pengakuan hutan adat, hingga kini masih tertahan di proses legislasi.
Di sisi lain, inovasi digital menawarkan peluang besar untuk mengatasi tumpang tindih dan ketidakpastian data wilayah adat. Iwan Setiawan (2025) mengusulkan integrasi teknologi blockchain dan penginderaan satelit dalam sistem pendaftaran tanah ulayat, demi meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.