Mohon tunggu...
Hasan Nur Aminudin
Hasan Nur Aminudin Mohon Tunggu... Insinyur - Just Look Around 🌏

Geography UI 2009, Mapping Officer at PT. Jaya Real Property, A Husband, A Father, and A Man who trying to do the right thing in life

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fundamentalisasi Islam, Upaya Gagal Membangkitkan Peradaban

19 November 2018   22:04 Diperbarui: 4 Desember 2018   08:50 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibnu Sina. Salah satu tokoh perlambang masa keemasan dunia Islam | Sumber gambar: thenational.ae

Saat ini, Saya kira tak ada yg menyangkal bahwa Dunia Islam sungguh-sungguh tertinggal dari Dunia Barat. Negara-negara Muslim hanya menjadi negara dunia ke-3 yg masih berkutat pada masalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan bahkan pertikaian sesama Umat Islam sendiri. Dunia Islam seperti sedang terjerembab di dalam sumur sehingga alih-alih mengejar ketertinggalan, untuk keluar dari sumur saja dirasa sangat kesulitan. Padahal sejarah mencatat Dunia Islam pernah mencapai masa kejayaan dan menjadi pemimpin peradaban. Lantas mengapa kini Dunia Islam hanya menempati urutan belakang?

Jika kita menilik ke belakang, setidaknya ada dua masa dimana Dunia Islam mengalami pukulan telak dalam kontestasi peradaban. Yang pertama adalah kemunduran Kekhalifahan Abbasiyah yg puncaknya adalah runtuhnya Khilafah akibat serangan Bangsa Mongol. Yang kedua adalah kemunduran Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) yang puncaknya adalah lenyapnya Khilafah pasca perang dunia pertama (WW1). Dua kejadian tersebut adalah check point penting yg membuat Umat Islam tersadar dan kembali berpikir bahwa ada sesuatu yg harus diperbaiki dalam kehidupan umat.   

Kita tahu bersama bahwa Dunia Islam pada abad pertengahan adalah penerima tongkat estafet tradisi pengetahuan Yunani. Pada masanya ilmu pengetahuan tumbuh subur, bukan hanya pengetahuan mengenai agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti filsafat, mantiq (logika), kedokteran, matematika, kimia, fisika, biologi, astronomi, geografi, seni, sastra, dan banyak lagi. 

Ilustrasi geliat riset dunia Islam abad pertengahan | Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Science_in_the_medieval_Islamic_world
Ilustrasi geliat riset dunia Islam abad pertengahan | Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Science_in_the_medieval_Islamic_world
Jatuhnya Kota Baghdad pada abad 13 ke tangan Bangsa Mongol bukan saja mengakhiri Khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran Peradaban Islam. Sebab Baghdad saat itu sebagai pusat Peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan ikut lenyap dibumihanguskan Bangsa Mongol. 

Di tengah kondisi "babak belur" yang demikian, muncul lah ijtihad-ijtihad untuk memperbaiki kondisi umat. Salah satu yg paling menonjol adalah pemikiran dari Syeikh Ibnu Taimiyah. Beliau berpandangan bahwa segala kerusakan ini hanya dapat diatasi apabila Islam kembali pada Al Quran dan As Sunnah.  

Kemudian pandangan tersebut kembali digaungkan pada abad 19 oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan konteks sosio-historis yang kurang lebih sama. Saat itu Dunia Islam sedang mengalami kemunduran hebat. Khilafah Utsmani yang saat itu menjadi sentral dari Dunia Islam melemah, pihak barat mejulukinya sebagai "The Sick Man of Europe". Satu persatu wilayahnya hilang, menjadi bancakan negara-negara barat. 

Di tengah kondisi demikian muncul Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab yg berpandangan bahwa segala kerusakan ini hanya dapat diatasi apabila Islam kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah. Pertanyaannya benarkah solusinya memang demikan?

Tentu siapapun sepakat bahwa Umat Islam harus kembali pada Al Quran dan As-Sunnah. Tetapi men-generalisir semua masalah akan selesai dengan satu solusi saja agaknya terlalu menyederhanakan keadaan. Apalagi jika yg dimaksud adalah kembali pada Quran dan Sunnah dalam pengertian pemahaman secara tekstual literal, justru akan memunculkan masalah baru. Fundamentalisasi yg demikian bukan hanya akan menggusur cara berpikir rasional, tetapi juga mempersempit makna Al-Quran itu sendiri. Sikap yg demikian menciptakan kejumudan dalam berpikir. Sikap kritis menjadi hilang, kemudian yg muncul adalah sikap sosial yg bersifat apologetik dan ekslusif.

Padahal kita tahu pada masa Khilafah Abbasiyah yg disebut sebagai era golden age-nya Islam, justru yg dikedepankan adalah tradisi berpikir rasional. Dengan Madzhab Mu'tazilah nya, Khilafah Abbasiyah mampu membawa Dunia Islam ke tempat tertinggi dalam peradaban. Tentu kita boleh tidak setuju dalam banyak hal soal paham Mu'tazilah, tetapi dalam hal spirit kemajuan, kelebihan tersebut mestinya tetap dipertahankan.

Yang terjadi kini kualitas Umat Islam terus merosot. Barangkali dalam hal kuantitas jumlah Umat Islam meningkat signifikan. Dalam hal kualitas ibadah trennya juga semakin membaik. Tetapi dalam hal kualitas keumatan masih jauh dari harapan. Ironisnya ekstrimitas atas nama agama justru meningkat. Sektarianisme tumbuh subur sehingga umat mudah sekali diadu domba. 

Negeri-negeri yg dahulu melahirkan para Fuqoha, Muhadditsin, Mufassirin, juga para Pemikir, Intelektual, Filsuf, Saintis, kini menjadi medan peperangan yg tak kunjung henti. Sebagian dari kita menuduh itu ulah konspirasi, pertanyaannya kenapa kita mudah sekali terjebak di dalamnya. Saya kira benar sudah apa yg dikatakan Nabi bahwa Umat Islam seperti buih di lautan, banyak tapi tak berarti.

Ada suatu pandangan bahwa Dunia Barat maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Dunia Islam justru mundur ketika meninggalkan agamanya. Menurut saya ini ada benarnya, tapi ada tidak benarnya juga. Barat justru maju karena mencontoh Dunia Islam pada abad pertengahan. Sayangnya memang barat benar-benar total meninggalkan agama. Padahal yg harusnya ditinggalkan mestinya hanya kejumudan dalam agama. Sedangkan Islam mundur justru karena meninggalkan tradisi intelektual yg sebelumnya sudah dikembangkan. Tradisi itu selanjutnya diambil kembali oleh orang-orang barat. 

Sejak saat itulah tongkat estafet peradaban kembali dipegang Dunia barat. Dunia Islam justru masuk dalam kejumudan seperti Eropa pada masa sebelumnya (dark age). Spirit pencerahan dalam Islam malah ditinggalkan. Dalam hal inilah kita bisa mengatakan Islam mundur karena meninggalkan agamanya.

Kemudian muncul pertanyaan, "Apakah kita harus kehilangan agama untuk bisa bergerak maju?". Saya rasa mestinya tidak. Umat Islam mestinya bisa memadukan antara aqli dan naqli. Umat Islam harus bisa maju dengan tanpa meninggalkan agamanya. Umat Islam harus mampu mengembangkan peradaban fikir, sekaligus juga peradaban zikir. Hal itulah yg bisa menjadi pembeda. Hal itu pula lah yang akan menggenapi firman Allah "Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnasi ..., kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia". Jika tidak, ayat tersebut hanya akan menjadi teks saja, tanpa ada kenyataannya.

China, India, Timur Tengah (Islam), adalah barisan terdepan peradaban sebelum Dunia Barat bangkit dan mengambil alih pada abad 17. Kini di abad 21, China dan India sudah mulai bangkit kembali, sejajar dengan Dunia Barat yang trennya mulai menurun. Sedangkan Dunia Islam masih belum bisa bergerak keluar dari ketertinggalannya. Fundamentalisme sebagai upaya, nyata-nyata telah gagal membangkitkan Islam dari tidurnya. Perlu ijtihad-ijtihad baru sebagai upaya agar Islam dapat bangkit dan bersaing kembali dalam kontestasi peradaban dunia.

Momen Maulid Nabi SAW ini, Semoga menjadi momentum refleksi kita bersama agar spirit pencerahan dapat kembali hadir di tengah Umat Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi 14 abad silam.

Sekian

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun