Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Negara Khilafah, Mungkinkah?

5 Oktober 2019   07:51 Diperbarui: 5 Oktober 2019   08:04 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Benarkah Indonesia bisa berubah menjadi negara khilafah atau syariah? Bisa, menurut pendapat penulis. Jika kita tak hati-hati mengelola sikap kita dalam berpolitik, maka tak menutup kemungkinan bahwa negara kita bisa berganti ideologi.  Saya bukan ahli dalam hal khilafah atau syariah.  Yang saya tahu secara umum saja.  Yakni memakai agama sebagai dasar negara. Dalam hal ini agama Islam. Tulisan ini tak berpretensi sebagai tulisan akademik atau ilmiah, tapi hanya sekedar tulisan dari orang awam dan merasa khawatir dengan keadaan kehidupan politik tanah air selama ini.

Indonesia memang punya sejarah panjang dalam pergantian sistem pemerintahan sebelum menjadi berdasarkan Pancasila sebagaimana saat ini. Dulu negara kita pernah sebagai negara berdasar agama Hindu atau Budha. 

Pemerintahan dibawah raja-raja. Pergantian sistem kepemerintahan mungkin saja bisa terjadi.  Termasuk berganti ke sistem khilafah.  Namun ada faktor-faktor penentu yang membuat kemungkinan pergantian sistem pemerintahan itu terjadi.  

Faktor penentu yang paling vital adalah kebudayaan lalu disusul oleh faktor militer. Pergantian sistem pemerintahan tidak mungkin atau sulit terjadi jika tidak didukung oleh sistem kebudayaan yang mengakomodasikannya.

Kebudayaan Indonesia sudah cukup tua.  Karakteristik budaya kita termasuk dalam budaya tingkat tinggi (high culture). Sifat budaya tinggi itu bisa menyerap budaya-budaya lain tanpa kehilangan jati dirinya.  Berlawanan dengan budaya rendah (low culture) yang gampang diganti oleh budaya lain yang lebih tinggi.

Islam bisa diserap di Indonesia karena disesuaikan oleh budaya lokal. Ada asimilasi dan akulturasi nilai-nilai keislaman. Dan ini disadari betul oleh para sunan yang datang ke tanah Indonesia untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman. Jadilah nilai-nilai Islam yang bernuansa budaya lokal.

Kita melihat kecenderungan yang ada saat ini dalam mengkampanyekan sistem khilafah adalah sedikitnya pengertian dalam akulturasi dan asimilasi kebudayaan.  Fenomena kafir mengkafirkan dan intoleransinya terhadap agama lain mungkin bisa dianggap faktor gagalnya untuk mengerti proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan itu.

Bisakah sistem pemerintahan berdasar nilai keislaman itu diterima di Indonesia jika tanpa kesadaran proses kebudayaan? Saya pikir bakal sulit. Bagaimana mungkin pemisahan gender dilakukan di desa-desa sebagai contoh sederhana saja? Kita sudah terbiasa bahwa lelaki dan perempuan tidak selalu harus dipisah-pisahkan dalam kegiatan sosial. 

Apalagi melarang kaum wanita untuk keluar rumah dan jika keluar rumah harus didampingi oleh saudara muhrimnya?  Bagaimana repotnya jika hal itu terjadi. Repot secara ekonomi, budaya dan sosial.  

Acara rewang atau membantu tetangga yang kesusahan bakal gaduh karena pemisahan gender.  Belum lagi jika nilai-nilai lainnya diterapkan - Nilai-nilai yang lebih mendalam pengaruhnya secara psikologis dan kontemplasi teologis secara personal.

Hal-hal tersebut di atas sudah disadari benar oleh pendiri bangsa kita.  Maka dipilihlah Pancasila.  Sudah begitu banyak buku ditulis tentang ini.  Analisanya mendalam dan lebih komplit. Penulis sendiri tak begitu menguasai semua filosofinya.  Tapi itulah anugerah yang kita terima dari para pendiri bangsa kita sehingga kita menjadi negara yang damai sebagaimana saat ini  kita kenyam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun