Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Cara Berpikir" Adalah Kemewahan yang Perlu dan Harus Siswa-siswi Nikmati dalam Pendidikannya (LOTS Versus HOTS)

25 Januari 2020   18:27 Diperbarui: 25 Januari 2020   18:37 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Untuk menghibur diri aku jadi sering sekali menonton film-film documenter---entah kenapa. Lalu belakangan kusadari bahwa hal terbaik dari film-film dokumenter adalah pengetahuan diajarkan bukan hanya tentang apa pengetahuannya itu saja namun juga tentang bagaimana pengetahuannya itu diperoleh. Pendeknya, ia menawarkan tentang cara berpikir---sesuatu yang tidak kita dapati dari buku-buku teks mainstream.

Misalnya saja pengetahuan soal cahaya, buku-buku mainstream akan menuliskan, "Kita dapat melihat suatu benda karena adanya cahaya yang mengenai suatu benda yang dipantulkan ke mata kita." Sementara film dokumenter akan bercerita tentang bagaimana ilmuwan mulai mencari tahu dan sampai bisa menyimpulkan pengetahuan tentang cahaya tersebut, serta berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai dengan kesimpulan tersebut.

Cara berpikir yang demikian adalah hal esensial yang sayangnya terlewatkan dari buku-buku teks. Dan karena kebanyakan guru berpatokan pada buku-buku teks mainstream makanya cara berpikir jadi tidak populer dalam pembelajaran di banyak ruang kelas. Ia jadi melulu soal teori dan pengetahuan yang dijejal-jejali dan dipaksa-paksakan tanpa mempedulikan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda bagi tiap-tiap siswa.

Kenapa cara berpikir ini menurut saya penting? Pembelajaran yang hanya melulu soal pengetahuan hanya akan membatasi siswa dengan pengetahuan itu saja. Seolah-olah pengetahuan itu ada "serta merta turun dari langit" atau yang muncul tiba-tiba bagai sulap. Ia mendorong siswa-siswi untuk hanya menghafalkannya (Low Order Thinking Skills).

Sementara pembelajaran cara berpikir adalah tentang bagaimana membelajarkan siswa soal proses menemukan sesuatu. Bahwa pengetahuan itu ada sebagai hasil dari sebuah proses panjang. Ia mendorong siswa-siswi bukan hanya sekedar untuk mengetahui dan memahami namun jua menganalisa, memaknai, dan menciptakan sesuatu (High Order Thinking Skill).

Sederhananya jika mereka tahu cara berpikir tentang menemukan mobil yang hilang, maka ia bisa menerapkan cara berpikir yang sama untuk dapat menemukan motor yang hilang. Jika mereka tahu bagaimana proses menemukan atau membuat huruf dan simbol-simbol di artefak, maka ia bisa jadi bisa membuat huruf dan simbol-simbol lain yang menyempurnakan simbol atau huruf sebelumnya. Cara berpikir mendorong manusia untuk menemukan kebaharuan. Dan begitulah kira-kira ilmuwan dari masa ke masa sampai pada titik seperti sekarang. Berlari estafet dengan tongkatnya adalah cara berpikir. Maka dengan pembelajaran cara berpikir itu kita membuka ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk menyadari, menerima bahwa tidak ada batasan dalam ilmu. Tidak peduli usia, level pendidikan, gender dan sebagainya. Satu-satunya batasannya hanyalah sejauh apa keinginan dan kuriositasnya.

Isu soal UN akan dihapuskan pada tahun 2021 adalah hal menarik bagi saya. Sudah sejak lama menurut saya itu tidak lagi relevan. Namun bukan hanya UNnya sebenarnya namun proses evaluasi dalam kesehariannya juga demikian. Kenapa begitu?

Namun... Bukankah proses pembelajaran yang HOTS itu kah yang harusnya lebih dititik beratkan?

Semasa sekolah hingga sekarang coba hitung sudah berapa kali kita mengikuti ujian. Sudah sering kali kita dengar bahwa ujian itu adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan kita dalam mengikuti proses belajar. Namun tingkat keberhasilan macam apa yang bisa diukur dengan hanya sekian soal? Selain hafalannya mungkin (hard skill). Kadang ada hal-hal lain yang justru sama pentignya dengan hard skill namun tidak tercover dengan standar test, yaitu arti dari sebuah proses (soft skill).

Bayangkan begini: Dua orang memiliki nilai yang sama bagusnya yakni 100 di mata pelajaran tertentu. Namun Si A memperolehnya dengan cara mencontek sedangkan si B belajar dengan giat semalaman. Atau bandingkan si A tadi yang mendapatkan nilai 100 tetapi mencontek dengan si C yang hanya dapat nilai 50 tetapi jujur hasil dari kerja kerasnya sendiri. Dan lagi tiap-tiap siswa, tentu memiliki beragam cerita dan proses belajarnya sendiri (karena menurut saya proses itu juga penting). Bagaimana kita bisa menilai itu? Apa standar test bisa menilainya? Dan siapa kita yang bisa menentukan mana yang berhasil dan mana yang tidak?

Saya cuma terpikirkan satu hal sederhana ini saja: Saya ingin salah satu siswa saya yang kelak mungkin menjadi seniman atau enterpreneur masih dapat berkata bahwa ia belajar sesuatu yang penting bagi karir mereka di masa depan melalui pembelajaran Fisika atau IPA di ruang kelas saya yakni cara berpikir. Bahwa paling tidak setelah semua hal ini berlalu, bukan hanya nilai raport dan kenangan namun cara berpikir adalah sesuatu yang tersisa dari proses pendidikannya selama ini.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun