Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Sebaiknya Tidak Melarang Seseorang Melakukan Apa yang Diinginkannya

28 Desember 2018   09:18 Diperbarui: 28 Desember 2018   10:10 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Suatu waktu ketika saya sedang mengajar privat seorang siswa dan dalam sebuah pembicaraan kami membahas tentang apa yang ingin ia lakukan dalam hidupnya. Ia tidak punya gagasan apapun. Ia memilih jalan hidup yang telah dipilihkan untuknya. Baiklah ini bukan pertama kalinya jawaban semacam itu saya terima. Dan tidak bosan-bosannya pula saya bertanya hal yang sama. Saya medengarkan semua jawaban yang diajukan dengan memikirkan beberapa asumsi berikut.

Pertama, barangkali ia memang tidak tahu apa yang menjadi passionnya sebab ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengenal siapa dirinya dan tidak mempunyai banyak pilihan. Untuk ini barangkali saya mengalaminya sendiri. Saya tidak mengenal diri saya lebih cepat, dan akhirnya menyadarinya kemudian yang saya sering rasa barangkali sudah demikian terlambat. Namun, saya tidak ingin menyerah dan menerima. Sebab hidup bukan hanya tentang menerima, bukan? Ia juga tentang menolak sesuatu yang kita anggap bertentangan. Atau bisa jadi selamanya seseorang tidak pernah sadar tentang siapa dirinya yang kadang saya pikir lebih baik demikian daripada berada pada opsi yang sebelumnya.

Kedua, adalah ia yang tahu persis apa yang menjadi passionnya sejak awal namun karena sesuatu hal, bisa jadi keadaan atau desakan orang tua dan sebagainya maka ia berhenti mengejar passionnya itu.
Katanya, dengan cara apapun seseorang menjalani kehidupannya entah itu mengikuti passionnya atau tidak, itulah pilihan. Dan memang setiap orang menjalani kehidupan yang berbeda-beda. Ya, saya tidak bisa tidak sepakat dengan pernyataan demikian.

Namun suatu ketika, saya menonton sebuah program di salah satu saluran televisi. Adalah William, pendiri Tokopedia mengatakan bahwa orang-orang seharusnya bekerja dengan passionnya dan semua yang turut hadir di sana mengamini apa yang dikatakannya. Dan lagi bukan dari William saja, buku-buku yang kita baca sering kali mengulang-ulang kata passion. Dan bahwa passion mestilah diperjuangkan.

Namun, di dunia sehari-hari, saya menemukan ketidakpedulian orang-orang kepada passion  dan orientasi hidup adalah tentang bekerja dan mendapatkan uang. Saya tidak menolak kenyataan bahwa saya pun membutuhkan uang. Saya mengerti itu. Tetapi untuk menerima bahwa passion dan karya hanyalah sebatas gagasan buku-buku dan orang terkenal sayangnya begitu sulit bagi saya. Saya tidak peduli apa yang orang pilih sebagai jalan hidupnya. Bahkan ketika saya bertanya mengenai hal itu pun, saya tidak hendak mendengar ia menjawabnya kepada saya namun jawaban itu hendaklah ditujukan kepada dirinya sendiri. Agar suatu saat jika ia menoleh ke belakang ia tidak lagi pernah menyesal sudah melewatkan fase untuk mengenal dirinya sendiri.

Dan apakah itu adalah hal yang salah? Saya tidak menampik bahwa mengikuti passion pun barangkali bukanlah pilihan yang bergaransi aman. Namun, orang-orang tidak dapat melarang seseorang untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan, sebab:

Pertama ia akan berbohong kepadamu untuk dapat terus melakukan apa yang ia ingin lakukan tersebut. Jika sudah demikian, apa yang dapat dilakukan? Menerima pilihan hidupnya atau menerima kenyataan bahwa ia berbohong suatu saat nanti?

Kedua, bahkan jika ia menerima pun ia tidak akan benar-benar ada untuk jalan yang tidak dipilihkannya sendiri. Ada perbedaan besar antara bekerja dan berkarya. Ada yang pernah mengatakan bahwa ukiran kayu yang dibuat oleh pekerja seni Indonesia itu sangat presisi dan luar biasa indah namun tangga yang dibuat oleh buruh bangunan tidak pernah presisi ukurannya. Pekerja seni itu berkarya sedangkan buruh bangunan itu bekerja. Apakah kita hendak terus menanamkan mental pekerja kepada generasi muda berikutnya?

Ketiga, adalah penyesalan. Saya hendak mengakhiri tulisan ini dengan bertanya (lagi) kira-kira apakah kita hendak mewariskan penyesalan di sisa-sisa usianya kelak dan menghabiskan energi masa mudanya dengan merasa tertekan dan mengutuk dirinya sendiri?(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun