Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Enam Racun Pikiran yang Perlu Dibuang

26 Desember 2018   16:43 Diperbarui: 26 Desember 2018   19:08 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Katanya, mengubah pikiranmu, mengubah hidupmu. Saya sangat percaya bahwa pikiran dan emosi kitalah yang membentuk siapa diri kita. Masalahnya terkadang kita bahkan tidak sadar akan pikiran-pikiran negatif kita sendiri. Barangkali karena sudah menjadi semacam kebiasaan, maka mereka menjadi tampak sebagai pikiran yang normal. Beberapa pikiran racun tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Berpikir bahwa diri satu-satunya korban kehidupan. Dalam suatu keadaan yang tidak menguntungkan, terkadang kita menyalahkan orang lain, entah itu karena menurut kita hidupnya tampak lebih baik, entah karena keberuntungannya dan sebagainya. Tidak jarang kita temui pada seseorang yang curhat mengatakan kalimat kalau kamu sih enak atau kalimat sejenisnya.

    Perhatikanlah bahwa hanya karena kamu tidak menyukai dirimu saat ini tidak berarti kamu tidak bisa mengubahnya di masa depan. Dan hanya karena seseorang tidak sedang curhat, bukan berarti ia sedang baik-baik saja. Siapa yang bisa tahu persis pertempuran macam apa yang sedang dihadapi tiap-tiap orang di dalam dirinya.

  2. Berpikir bahwa kita dapat mengubah orang lain. Ada masanya dalam hidup saya, saya berpikir bahwa saya dapat memotivasi dan menginspirasi orang lain untuk menjadi dirinya yang terbaik. Saya butuh waktu yang lama sampai saya menyadari bahwa satu-satunya hal yang dapat mengubah seseorang adalah dirinya sendiri.

    Jika mereka tidak ingin berubah, maka segala usaha akan menjadi sia-sia. Dan berpikir bahwa kita dapat mengubah orang lain, tidakkah itu seperti bahwa diri kitalah yang benar dan orang lain perlu dibenarkan?

  3. Berpikir bahwa Rumput tetangga selalu lebih hijau. Hanya karena kita pikir orang lain tampaknya lebih baik daripada diri kita belum tentu demikian adanya. Barangkali seorang gadis yang lebih cantik dari kita sebenarnya memiliki masalah dengan kepribadiannya atau orang-orang yang pangkatnya lebih tinggi darimu sebenarnya memiliki waktu kebersamaan yang lebih kurang dengan keluarganya dibandingkan kita.

    Seseorang yang lebih kaya dari kita mengalami kekosongan syukur yang jauh lebih hebat dari yang bisa kita rasakan. Siapa yang tahu? Jadi, apa salahnya bersyukur dengan apa yang dipunyai.

    Dengan bersyukur, rumputmu yang masih hijau muda itu akan membuatmu merasa menjadi orang paling kaya di dunia. Dan kelak, seiring berjalannya waktu bila disirami dengan baik dan Tuhan mengizinkan, ia pun akan berangsur-angsur hijau tua.

  4. Berpikir bahwa seseorang akan melengkapimu. Tidak ada jaminan bahwa memiliki seorang pasangan akan membuatmu menjadi lebih bahagia. Berpasangan hanyalah sebuah fase yang berbeda yang setiap orang akan lalui, dengan kesenangan-kesenangan dan masalah-masalah baru dari fase ketika masih single. Jika kita merasa bahwa seseorang haruslah melengkapi diri dan terobsesi dengan asumsi itu, maka yang ada adalah tekanan, baik pada diri kita maupun pasangan.

    Tekanan untuk mencocok-cocokkan segala hal supaya terasa lengkap. Demi apa? Kebahagiaan? Jadi, sekarang sedang tidak bahagia? Tidakkah semestinya dalam semua fase apapun di kehidupan ini kebahagiaan itu adalah syarat mutlak? Kita harus bahagia dengan atau tanpa orang lain di sisi kita sebab kebahagiaan bukan pada orang lain namun diri kitalah yang mesti membuatnya sendiri.

  5. Merasa bahwa diri selalu perlu merasa benar. Saya selalu bertanya-tanya mengapa orang-orang harus mati-matian membuktikan bahwa ia benar. Apa pentingnya? Barangkali itu hanyalah agar ia tidak terlihat lemah atau menyedihkan atau bodoh. Namun, itu paradigma usang. Hari ini, orang-orang semakin peduli bahwa yang berani mengakui kesalahannya tampak jauh lebih keren dan dewasa. Lagipula,

    Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Jadi, mengapa tidak biarkan masing-masing teguh dengan pendapatnya sendiri?
    Jangan berpikir bahwa hanya ada satu kebenaran dan satu kesalahan.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun