Mohon tunggu...
Uut63
Uut63 Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik UPGRIS

Sebagai seorang pendidik (sejak 1981), saya selalu ingin meningkatkan kualitas diri. terutama sebagai pribadi Muslim, saya sangat interest dengan berbagai ajaran yang mengajak ke jalan kebaikan, dan keselamatan dunia akherat. Di setiap tatap muka dengan mahasiswa, saya juga selalu mengingatkan akan hal ini. Di usia yang tidak lagi muda, saya ingin selalu bisa menebar kebaikan. Mudah-mudahan tidak saja bermanfaat untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Saat ini, saya sedang ingin membuktikan talenta pemberian Allah yang tidak saya sadari. Membaca, menyimak (mendengarkan dan memcermati), kemudian menuliskannya. Sesekali saya masih suka bergabung dengan teman, sahabat untuk menyanyi. Sembari menunggu anugerah Allah untuk bisa segera menuntaskan studi S3, saya ingin melakukan apa saja hal-hal yang bermanfaat. Setidaknya ini merupakan salah satu bentuk syukur pada-Nya. Semoga Allah ridla.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keajaiban Itu Benar-Benar Ada (1)

10 Desember 2022   08:01 Diperbarui: 10 Desember 2022   08:14 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Assalamu'alaikum, selamat pagi Sahabat Kompasiana yang luhur budi, Pernahkah terpikir oleh Sahabat semua, bahwa keajaiban itu benar-benar ada di dunia ini. Memang benar Firman-Nya, jika Allah sudah berkehendak tiada sesuatu pun yang bisa menghalangi. Bagi-Nya cukup Kun Fayakun, maka yang harus terjadi, terjadilah (QS 36: 82). Yang akan saya ceritakan di sini adalah pengalaman berhaji di Tahun 2006. Mungkin sahabat Kompasiana masih ingat, saat itu tersebar issu kelaparan di Tanah Suci. Dan jika nanti saya paparkan di ruang ini, barangkali ada yang tidak percaya.

Keberangkatan kami ke Tanah Suci itu sendiri sudah merupakan keajaiban bagi saya. Bagaimana tidak,bertahun-tahun berulangkali saya mengajak suami untuk berhaji, tetapi dia tidak mau, alasannya belum siap. Padahal waktu itu kami sudah mampu untuk melakukannya. Saya sabarkan menunggu, sampai tiba-tiba di suatu pagi, mungkin di sekitar Bulan Juli, suami tiba-tiba mengutarakan keinginannya, "Yuk Haji, Dik!" Spontan pula saya menjawab, "Tenan ki, ya." Setengah tidak percaya, hari itu juga kami janjian ke bank. pilihan kami, Bank Mandiri. Kami diterima oleh petugas, ibu Rini namanya. Begitu cepat prosesnya, kami langsung ke Depag di Islamic Center. Dan cepat pula kami mendapatkan nomor porsi, serta kepastian berangkat di tahun itu juga. Tidak bisa saya bayangkan, bagaimana rasanya menunggu hingga berpuluh tahun seperti sekarang ini. Karena itu tidak terjadi pada kami. Kami segera  mendapatkan pemberitahuan jadwal Manasik. Bahagia menyelimuti kami. Tiba-tiba, saya harus sport jantung. Duka, sedih, takut melanda kami. Saat pelunasan ONH tinggal seminggu, kami benar-benar tidak ada uang. Setiap hari saya menengadahkan muka, seraya mengangkat tangan, dengan derai air mata saya memohon kemurahan Allah. Sayang, saya tidak ingat bagaimana waktu itu, akhirnya kami bisa melunasinya. Yang pasti tidak berhutang. Alhamdulillah.

Setelah sempat dilanda kesedihan, disertai kecemasan, suka ria kembali hadir. Kami selalu diliputi kebahagiaan, karena Ibu kami  (Ibu suami) akhirnya bahkan juga berkeinginan untuk berhaji.  Bahagianya saya membayangkan menunaikan ibadah  haji bersama Ibu. Setiap Minggu kami berangkat bertiga untuk Manasik. Kulihat suka cita selalu terpancar di wajah Ibu. Waktu begitu cepat, tahu-tahu kami sudah menyelesaikan Manasik. Sungguh tidak terbayangkan, jika kebahagiaan itu hanya sesaat. Di Bulan Oktober, waktu itu bertepatan dengan Bulan Romadlon. Hanya tinggal sebulan kami akan berangkat ke Tanah Suci, Ibu gerah. Hanya demam biasa, kami membawanya ke dokter. Dan hanya semalam itu, keesokan paginya Pukul 06.30 saya mendapat kabar Ibu wafat. Ibu pulang ke Rahmatulloh dengan membawa sebuncah harapan bahagia, akan berangkat haji bersama puteranya.  Betapa hancur hati kami semua puera-puterinya. Terutama saya yang paling merasakan, bertahun-tahun Ibu tinggal bersama kami, tapi beberapa hari menjelang Ibu tiada, beliau ingin menengok cucunya yang lain. Yah, ketika Ibu wafat, beliau justru sedang berada di rumah Adik kami. Sungguh, saya merasa sangat tertekan dengan kejadian itu. Saya merasa Allah sedang menegur saya. Berbagai perasaan dan pikiran berkecamuk mengganggu saya saat itu. Kenapa ibu yang justru sangat dekat dengan saya, memilih seda tidak di samping saya? Adakah sikap dan tutur kata saya yang tidak berkenan di hati beliau? Cukup lama saya bisa lepas dari perasaan sedih dan menyesal yang sirna bersamaan dengan kesibukan kami menyiapkan keberangkatan. 

Karena suami saya ditunjuk sebagai Karu, rumah kami selalu ramai dikunjungi teman-teman calon haji yang serombongan dengan kami. Di antara tujuannya menyiapkan beberapa identitas yang bisa menjadi ciri atau tengarai anggota rombongan kami. Saya ingat, selain pita dari kain Siffon berbunga cerah yang akan kami ikatkan di Handle koper kami, juga branjang (fungsinya sebagai tas atau wadah yang terbuat dari tali  kur plastik berwarna Merah Putih) yang akan melindungi koper-koper kami, selain sebagai identitas juga sebagai pengaman agar koper kami tidak bedhah (sobek dan membuka), karena dilempar-lempar petugas di Bandara.

Sobat Kompasiana, waktu sudah menunjuk Pkl. 08.05. Saya akhiri dulu ya. Nanti disambung lagi. Selamat beraktivitas hari ini. Sukses. Salam Literasi. Wassalamu'alaikum,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun