Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Abu Ibu dan Abang

16 Januari 2023   22:28 Diperbarui: 16 Januari 2023   22:54 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap benda pastilah punya cerita. Pohon nyiur ingat akan burung apa yang hinggap di rantingnya, angin mana yang berembus membelai daunnya, tidak lupa jenis kelamin orang-orang yang memetik buahnya. Pasir di tepi pantai hafal pantat siapa yang mendudukinya, berapa kali debur ombak membasahinya, pun jumlah ikan yang terdampar lantaran surut air lautnya. Sayang, nyiur dan pasir tak bisa bercerita, tidak layaknya butiran abu dalam guci kecil di depan Bapak.

Sebagai seorang pelaut, Bapak tak bisa pulang leluasa ke rumah. Berlayar dalam kapal, terombang-ambing melawan badai, memancing ikan tongkol kesukaan, bercanda bersama para nelayan, singgah dari satu pulau ke pulau lain, adalah keseharian Bapak yang harus ia tinggalkan beberapa saat. Benar-benar kalau tidak ada perlu mendesak, Bapak tidak dibolehkan pulang. Kurasa, tiada lagi yang bisa lebih mendesak selain kematian anggota keluarga.

Kulihat pipi Bapak memerah. Lelaki yang sudah membesarkanku itu seperti tidak kuat menerima kenyataan. Dua peristiwa berturut-turut yang terjadi berdekatan memaksanya tidak melaut. Di depannya, sebuah kotak berisi peti kayu jati berwarna cokelat siap untuk didorong. Pada permukaan peti, terdapat kaca transparan panjang dari ujung satu ke ujung lain, menampakkan wajah dan tubuh seorang pemuda yang baru saja lulus kuliah. Ia abangku. Umurnya sepuluh tahun lebih tua dariku.

Bapak baru lima hari lalu minta izin ke atasan untuk pulang. Abang kecelakaan di jalan. Motornya terlindas truk. Nahas, ia tidak pakai helm. Kuceritakan selanjutnya, siapapun tak akan tahan.

Bapak merogoh saku celana. Saputangan terambil. Belum sempat air mata jatuh, ia mengusapkan saputangan ke pipi. Di depan kotak itu, ia berdiri. Sayup kudengar isak perlahan. Ia terus memandang ke depan. Sebuah kotak berisi anak yang pernah ditimangnya, sudah disekolahkannya, dan mungkin ia sempat berharap anak itu akan membahagiakannya. Tapi, ada kala harapan tinggal harapan.

Aku tersenyum, berdiri di samping Bapak. Barangkali Bapak melihatku berusaha tegar, ia lantas mendekapku penuh hangat. Kurasakan jantungnya berdegup kencang. Lapisan baju di bahuku, tempat Bapak menyandarkan kepala, basah bukan kepalang. Aku membalas dekapannya lebih erat, seperti hendak menyangga tubuhnya. Kali-kali saja sakitnya kambuh.

Dua orang petugas bersarung tangan dan berjubah plastik menutup peti yang sebentar lalu tadi terbuka. Kotak lantas didorong masuk ke dalam. Sekejap mata, api menyambar di mana-mana. Peti kayu terpanggang bersama jasad di dalamnya. Hanya tersisa abu, yang sudah disimpan Bapak dalam guci mungil seukuran telunjuk jari, berwarna hijau muda bergambar pedang, di samping guci -- pun sama mungilnya -- putih pasi penuh ukiran dedaunan.

Bapak bercerita padaku bahwa roh orang yang meninggal tidaklah hilang. Ia melekat dalam abu dari jasad yang habis terbakar. Jikalau kau rindu dengan seseorang yang telah tiada, duduklah di atas kursi, dekatkanlah guci berisi abu orang kesayangan ke telingamu, dan mulailah nikmati kenangan. Begitu kata Bapak dan itulah kebiasaannya.

Ya, Bapak selalu menyimpan abu hasil kremasi dalam guci-guci kecil yang terpajang di kotak kaca ruang tengah. Kotak itu terdiri dari dua rak. Bagian atas, terdapat guci merah dengan garis-garis melingkar di sekelilingnya. Kata Bapak, itu berisi abu Kakek. Kakek meninggal sebelum aku lahir. Di sebelahnya, ada guci hitam bermotif bunga berisi abu Nenek. Sebelah bawah kosong lantaran dua guci yang sebelumnya di sana sudah berpindah tempat.

Ketika Bapak merindukan kecantikan Ibu yang belum memudar dalam usia yang hampir setengah abad, ia akan mendekatkan guci putih ke telinga. Terdengar suara berdesing. Abu yang terperangkap dalam guci bergerak-gerak. Butir-butirnya bergesekan. Memori dalam ingatan Ibu kembali berarak. Aku duduk tak jauh dari Bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun