Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dalam Lemari Pakaian Seorang Penatu

16 Oktober 2021   22:25 Diperbarui: 16 Oktober 2021   23:59 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada tumpukan beberapa kantung plastik hitam besar. Sebuah nota dengan ujung tertancap pada paku, tergeletak di meja. Salah satu lembarannya sobek, tertera tulisan berupa huruf dan angka atas nama seseorang. Kalkulator masih menyala, seperti baru saja tombolnya ditekan. Dua tiga mesin berbunyi, berderu-deru, memutarkan sesuatu. Tiba-tiba lelaki tua datang, melemparkan bungkusan.

"Sehari ya," katanya singkat. Setelah meletakkan bungkusan dan menerima selembar nota, lelaki itu kembali ke motornya, mencolokkan kunci, lantas menyalakannya dan segera pergi.

Perempuan paruh baya dengan rambut keriting panjangnya yang tergerai dan serba memutih lekas membuka bungkusan. Tangannya yang keriput -- penuh guratan-guratan waktu -- melepas karet gelang yang melilit di ujung bungkusan. 

Seketika bau keringat dan sesuatu yang memuakkan menyeruak. Perempuan itu menutup hidung. Ada sesuatu dari dalam perut seperti memaksa naik ke kerongkongan. Ia menggosok dada. Dengan cepat, tangannya mengambil sebotol minyak kayu putih, lantas mengusapnya ke hidung. 

Itulah, caranya menenangkan diri dan ia harus terima sebagai tantangannya bekerja, mencuci pakaian orang-orang. Siapa pun itu, yang sanggup membayar, harus ia layani dengan sebaik-baiknya. 


Ia tidak pantas mengeluh dan barangkali berkata, "Bau sekali pakaian kotor Anda." Karena hanya dari penatu-lah, ia bisa menyambung hidup sekadar makan sehari-hari dan menabung cukup uang untuk sebuah keperluan terakhir yang entah akan ia lakukan kapan.

Perempuan itu terkenal sebagai seorang penatu terampil. Segala pakaian dengan berbagai noda, entah apa pun itu, selalu berhasil kembali seperti habis baru dibeli, bersih cemerlang dan harum baunya, dalam lempitan rapi yang terbungkus plastik putih tipis. 

Selain terhitung cakap, ia juga memasang biaya jasa penatu yang terbilang lebih murah dibanding penatu-penatu di sekitarnya. Bila mereka memasang harga sembilan ribu per satu kilogram pakaian, perempuan itu bisa dua ribu lebih murah, tetapi kualitasnya tidak kalah baik.

Kalau dipikir-pikir, bukanlah sebuah ketidaksengajaan ia membangun usaha itu. Berbekal sisa tabungan di bank, ia membeli beberapa mesin cuci, lima lemari pakaian, setrika dan mejanya, alat pembungkus beserta peralatan lain, tidak lupa juga menyisihkan sebagian uang untuk membayar sewa atas sebuah ruangan berukuran empat kali empat meter persegi, tepat di tengah kompleks perumahan itu.

Perempuan itu biasa mencuci pakaian, menjemurnya, lantas menyetrika, sesudah itu melempit. Barangkali jika perempuan lain paling benci melakukan hal-hal ini -- karena sangat membutuhkan kesabaran, perempuan itu malah tidak bisa barang sehari saja tidak mencuci pakaian, terutama melempitnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun