Tulisan ini adalah bentuk kegelisahan saya sebagai seorang penulis. Jika Anda tidak ingin membaca yang tidak enak, silakan lewat saja. Tidak pula sebuah keharusan Anda membaca tulisan ini.
Setiap orang yang menulis pasti berbahasa. Dalam membabarkan bahasa, tentu lebih tenang dibanding berucap, yang terkadang lebih dikuasai emosi sehingga pemilihan katanya buruk.
Bahasa tulis sudah diatur ketentuannya dalam kaidah. Minimal ada dua: Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.Â
Sekiranya penulis yang hendak menulis, membacanya terlebih dahulu. Bahasan ini secara luas untuk seluruh penulis, tetapi akan saya sempitkan pada penulis yang sudah menerbitkan buku.
Fenomena judul buku
Jujur, saya miris sebagai seorang pencinta bahasa dan sastra Indonesia. Dugaan demi dugaan bermunculan dan itu hanya bisa dijawab oleh tiap-tiap penulis.
Melihat fenomena kekinian dalam memilih judul buku, ada setidaknya dua perkara yang akhirnya -- karena tidak sedikit saya temukan -- menggiring asumsi saya bahwa tidak semua penulis bangga berbahasa Indonesia.
Pertama, soal judul yang bercampur baur. Judul sudah tentu berada paling muka buku, ukuran hurufnya lebih besar, dan dipilih semenarik mungkin agar memikat pembaca.
Tentu, judul harus sejalan dengan isi. Apa yang diceritakan dalam isi, itulah penjelasan luas dari judul. Sayangnya, barangkali dalam usaha membuat judul menarik, ada penulis yang lebih memilih berbahasa asing dan mencampurnya dengan bahasa Indonesia. Sebagian Indonesia, sebagian asing.Â
Saya sangat mengerti, tidak seluruh bahasa asing telah diserap dan bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ada pula yang barangkali artinya tidak pas dan lebih mengena jika masih berbentuk bahasa asing.
Tetapi, jika sudah ada terjemahannya, mengapa masih mempertahankan berbahasa asing? Adakah penulis tidak percaya diri bahwa bahasa Indonesia juga bisa menarik pembaca? Apakah agar terlihat keren dan gaul, bahkan kekinian? Jujur, mata saya gatal sekali membacanya.
Perkara kedua, ada pula judul buku yang betul-betul berbahasa asing. Semua kata berbahasa asing. Seyogianya, isinya pun berbahasa asing. Jika isinya berbahasa Indonesia, apa maksudnya?
Sekali lagi, seberapa bangga penulis berbahasa Indonesia? Adakah rasa itu terkikis sehingga kurang yakin untuk menjelaskan judul buku dalam bahasa Indonesia saja?Â
Pengalaman saya menulis buku
Saya bukan tidak pernah mencampur bahasa. Hanya dalam menulis judul artikel -- sangat jarang, itu pun menggunakan tanda, semisal cetak miring atau bubuhkan tanda petik dua. Tentu, alasan utama karena belum ada padanan kata yang pas.
Saya berkeluh kesah demikian karena menilai bahwa penulis seyogianya adalah teladan dan barisan paling depan dalam membiasakan berbahasa Indonesia yang benar dan membudayakannya.
Saya sudah menerbitkan delapan buku. Enam buku antologi cerpen: "Rahimku Masih Kosong", "Juang", "Kucing Kakak", "Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan", "Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden", dan "Pelajaran Malam Pertama". Satu buku antologi puisi: "Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa". Satu buku tip: "Praktik Mudah Menulis Cerpen".
Semua judul itu berbahasa Indonesia. Isinya pun sama, saya usahakan baku sesuai kaidah. Ada perasaan bersalah dan mengganggu rasa cinta saya kepada bahasa Indonesia, jika saya tidak menyajikan penulisan kata sebaik-baiknya.
Sampai sejauh mana penulis bangga berbahasa Indonesia?
Akhirnya, kerisauan ini saya tutup dengan pertanyaan: sampai sejauh mana, Anda, para penulis, bangga berbahasa Indonesia yang benar? Sampai sejauh mana pula kebiasaan campur-campur dalam berbahasa -- terutama dalam memilih judul buku -- masih dilanjutkan?
...
Jakarta
12 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat