Tetapi, jika sudah ada terjemahannya, mengapa masih mempertahankan berbahasa asing? Adakah penulis tidak percaya diri bahwa bahasa Indonesia juga bisa menarik pembaca? Apakah agar terlihat keren dan gaul, bahkan kekinian? Jujur, mata saya gatal sekali membacanya.
Perkara kedua, ada pula judul buku yang betul-betul berbahasa asing. Semua kata berbahasa asing. Seyogianya, isinya pun berbahasa asing. Jika isinya berbahasa Indonesia, apa maksudnya?
Sekali lagi, seberapa bangga penulis berbahasa Indonesia? Adakah rasa itu terkikis sehingga kurang yakin untuk menjelaskan judul buku dalam bahasa Indonesia saja?Â
Pengalaman saya menulis buku
Saya bukan tidak pernah mencampur bahasa. Hanya dalam menulis judul artikel -- sangat jarang, itu pun menggunakan tanda, semisal cetak miring atau bubuhkan tanda petik dua. Tentu, alasan utama karena belum ada padanan kata yang pas.
Saya berkeluh kesah demikian karena menilai bahwa penulis seyogianya adalah teladan dan barisan paling depan dalam membiasakan berbahasa Indonesia yang benar dan membudayakannya.
Saya sudah menerbitkan delapan buku. Enam buku antologi cerpen: "Rahimku Masih Kosong", "Juang", "Kucing Kakak", "Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan", "Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden", dan "Pelajaran Malam Pertama". Satu buku antologi puisi: "Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa". Satu buku tip: "Praktik Mudah Menulis Cerpen".
Semua judul itu berbahasa Indonesia. Isinya pun sama, saya usahakan baku sesuai kaidah. Ada perasaan bersalah dan mengganggu rasa cinta saya kepada bahasa Indonesia, jika saya tidak menyajikan penulisan kata sebaik-baiknya.
Sampai sejauh mana penulis bangga berbahasa Indonesia?
Akhirnya, kerisauan ini saya tutup dengan pertanyaan: sampai sejauh mana, Anda, para penulis, bangga berbahasa Indonesia yang benar? Sampai sejauh mana pula kebiasaan campur-campur dalam berbahasa -- terutama dalam memilih judul buku -- masih dilanjutkan?
...
Jakarta
12 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat