Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Sebuah Pohon di Tengah Kuburan

5 Oktober 2021   18:09 Diperbarui: 5 Oktober 2021   22:00 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pohon di tengah kuburan | Sumber: Pixabay via Kompas

Hanya ada satu pohon di kompleks tanah pemakaman itu, tetapi itu sudah mampu menarik perhatian para warga desa pun pengunjung dari luar desa untuk menjaga tata krama, setiap kali hendak mengunjungi salah satu kuburan di sana. Semua orang yang hendak melewati pohon yang berada tepat di tengah kompleks diharuskan berjalan membungkukkan setengah badan dengan tangan terjulur ke bawah, seperti memberi hormat kepada sesuatu yang dipercaya menunggu pohon itu. Begitulah, aturan yang tertulis jelas dan terpampang besar pada sebuah papan kayu di depan pintu masuk kompleks pekuburan.

Siang itu aku memperhatikan para pelayat begitu patuh terhadap aturan. Mereka percaya -- entah siapa yang mengalami duluan -- setiap kali tidak memberi hormat, maka kesialan akan datang. 

Dari dulu pun, yang kutahu memang, semua orang harus saling menghormati. Bila tidak begitu, jangan harap mendapat hormat. Tetapi, kepada pohon?

Kompleks itu tidak terlalu luas dan berada tidak jauh dari rumah nenek. Jarang-jarang nenek mengajakku ke sana, tetapi entah kenapa waktu liburan kenaikan kelas tahun ini dan aku kebetulan sedang berlibur di rumahnya -- aku sedang ingin menikmati suasana desa -- nenek begitu berharap bisa pergi bersamaku ke sana.

"Ayo, Cu ... kita berangkat," ajak nenek seraya memegang tanganku dengan sedikit menarik. Aku menundukkan badan, mengambil sepatu pada rak di belakang pintu rumah, lantas mengikatkan tali hitamnya dengan kencang.

"Sebentar, Nek," pintaku.

Seperti kebanyakan orang yang melayat, sudah tentu kami membawa sekeranjang bunga Kamboja segar yang masih harum wanginya dan sebotol plastik besar berisi air bening untuk membasuh pinggir-pinggir kuburan beserta batu nisan yang barangkali kotor karena abu tanah dan debu-debu yang beterbangan di sekitar kuburan. 

Namun, nenek dengan sengaja tidak menyiapkannya dari rumah. Katanya, nanti di depan kompleks, banyak yang jualan seperti itu. Nah! Beli saja di sana. Hitung-hitung bantu orang agar bisa makan. Siapa lagi yang beli dagangan mereka selain para pelayat? Aku hanya mengiyakan. Nenek memang begitu perhatian kalau bertemu dengan orang susah. Perasaannya gampang sekali tersentuh. 

Nenekku sudah tua, terbilang sangat tua bahkan. Umurnya delapan puluh lima tahun. Bila kujelaskan fisiknya, tidak jauh beda dengan penampakan para sesepuh di sekitar.

Kulit di sekujur tubuhnya yang bisa terlihat di luar pakaian, semua serempak mengerut, memperlihatkan urat-urat tuanya yang terkadang membiru di antara kekurusan badannya yang hampir sedikit lagi membuatnya tampak seperti tulang belulang yang sedang berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun