Sebagai seorang istri, aku harus kuat pada saat suamiku terpuruk. Kami sudah berjanji di pelaminan untuk sehidup semati, saat muda sampai tua, saat senang dan susah, sampai saat di mana kami terpisah gara-gara maut sudah datang.
Sangat berat kuakui untuk tetap memasang senyum di depannya. Tetap berusaha berpura-pura menegarkan hati, memandang semua akan baik-baik saja, meskipun mulut ini tidak sanggup berucap sepatah kata pun kata-kata semangat.Â
Di atas meja makan tinggal tersisa nasi. Lauk kemarin sore sudah habis dimakan pagi tadi. Besok kontrakan rumah harus dibayar. Tagihan pengobatan ibu di kampung lusa wajib dikirim. Tidak ada lagi yang tersisa di tabungan. Anak gadisku yang berumur sepuluh tahun masih saja merengek.
"Bu...," ia mendekat dan menggelayuti dasterku, "Minah jadi ikut, tidak, Bu?" katanya dengan suara memohon. Matanya memerah, sejak kemarin sudah merah, sampai sekarang pun tepat di depanku masih merah.Â
Sepertinya ia tidak habis bertangis-tangisan di kamar semalaman. Aku memang belum mengiyakan permintaannya. Entah kenapa aku punya firasat buruk mulai kemarin, sejak suamiku tidak memberi salam ketika meninggalkan rumah waktu berangkat kerja.
"Teman-teman sudah pada ikut, lho, Bu. Tinggal Minah yang belum daftar. Bu guru Surti sudah telepon tadi. Minah boleh ikut, ya, Bu?" Ia memohon lagi. Kali ini tambah merengek.
Aku mengambil napas panjang. Terkadang aku tidak pernah mengerti, mengapa suatu kali, masalah bisa datang bertubi-tubi. Yang satu belum selesai, yang lain berdatangan. Tambah parah dan lebih parah jika harus dihadapi sendirian.
Aku tidak bisa bergantung lagi pada suamiku. Ia sudah jadi pengangguran sekarang. Dompetnya pun sempat kulihat, kosong melompong, hanya berisi kartu nama lawas yang tentu tidak berlaku lagi sejak ia dipecat.
Dua hari lagi pawai Kartinian akan diselenggarakan. Guru dari sekolah anakku sudah mengingatkan untuk lekas-lekas mendaftar. Memang, jika tidak cepat, pasti kesulitan mencari pakaian adat daerah di salon-salon sekitar.Â
Pakaian itu jumlahnya terbatas, tidak seimbang dengan jumlah murid yang ada di seluruh kota. Semua berlomba memesan jauh-jauh hari. Jika kehabisan, stok pakaian dari luar kota terpaksa didatangkan, itu pun harus lebih lama lagi menunggu, yang tentu memesannya lebih lama pula.
Aku menengok dompetku. Tidak berapa lama, aku membuka buku tabungan. Pikiranku melayang sejenak. Apa yang bisa kupakai untuk membayar uang sewa pakaian adat anakku?