Orangtua saya dua-duanya Batak asli. Sudah lama tinggal di Jawa. Keluarga saya perantauan. Meskipun begitu, setiap ada acara pernikahan di Jakarta, kami kerap diundang. Saya tinggal menyusul, karena kerja di Jakarta.Â
Saya sendiri pernah bertanya pada Mama, mengapa Mama juga sekali dua kali ikut-ikutan membawa bungkusan makanan. Saya tahu betul di rumah masih ada makanan. Keluarga saya tidak kekurangan uang untuk beli makanan.
Mama sendiri hanya menerima bungkusan yang sudah disiapkan tante saya. Tidak pernah saya lihat beliau dengan sengaja membungkus makanan. Apalagi membawa plastik dalam tas.
Pernah terucap sedikit pendapat Mama, bahwa Mama malu melakukannya. Kalau dengan sengaja diberi, tidak enak menolak, karena yang memberi adalah keluarga.
Kejadian memalukan
Pernah terjadi seusai kebaktian, ketika ramah tamah, saya tahu ada seorang wanita -- panitia acara, menegur seorang ibu Batak. Ibu itu dengan begitu santai mengeluarkan plastik hitam dari tasnya.
Wanita itu bukan tanpa alasan menegurnya. Ada jemaat yang masih bersalam-salaman selepas acara, belum makan. Saya menangkap sedikit kekesalan pada wajahnya.
"Nanti tunggu dulu, kenapa? Masih ada yang belum makan!" seperti itu tegurannya. Ibu itu kembali duduk. Mukanya sedikit malu. Saya pun malu. Sama-sama orang Batak.
Ya, tidak bisa dimungkiri, kebiasaan ibu-ibu Batak bungkus-bungkus makanan di akhir pesta kerap terjadi. Ini seperti melekat sebagai satu kesatuan unsur pesta.
Tidak ada yang salah dengan itu. Mengenyangkan orang juga perbuatan baik. Tetapi, jika timbul masalah, bahwa dengan begitu, sebagian orang yang datang terlambat menjadi kehabisan makanan, saya rasa ada baiknya dipertimbangkan lagi.
Apakah seluruh orang sudah makan? Apakah acara benar-benar selesai, sehingga tidak ada lagi tamu-tamu potensial yang datang? Di sisi lain, kerap sebab satu dua hal, tamu terlambat tiba seusai pesta berlangsung. Kasihan, jika sekadar datang tanpa makan. Tuan rumah juga pasti malu.