"Penjual waktu, Bu. Penjual waktu," kata tetangga saya. Sepertinya dia mendengar gumam saya. Kepala saya makin pusing. Akhirnya, saya coba membuktikan sendiri kesaksian mereka.Â
Kebetulan anak saya sedang sakit dan besok ada ulangan Matematika. Sayang, bila anak saya tidak bisa ikut. Mengikuti ulangan susulan adalah hal yang dibencinya, karena berpikir seorang diri tanpa teman dan diawasi guru begitu menekan mentalnya.
Saya pergi ke pasar itu. Beberapa orang masih berdesak-desakan. Salah seorang menjorokkan badan orang lain. Ada yang terjatuh mencium aspal. Siang itu begitu terik. Sinar matahari yang panas membara, tidak menyurutkan semangat mereka. Sepertinya, mereka punya banyak masalah. Beberapa perkataan mengandung umpatan.
"Minggir, goblok! Saya sudah datang duluan."
"Kamu yang antre, goblok! Saya dari tadi."
"Heh... heh... heh.... mundur kalian. Sekarang giliran saya."
Daripada saya hancur seperti rempeyek dalam desakan mereka, lagipula keringat mereka begitu apek, saya memilih duduk di depan sebuah toko. Saya tunggu saja kerumunan itu berkurang. Saya sama sekali tidak bisa melihat si penjual itu. Seperti sebutir gula dirubung ratusan semut.
Senja mulai datang. Saya lihat sudah sepi. Saya mendekati penjual itu.
"Sore, Pak. Masih ada jualannya?"
Bapak penjual itu tidak menjawab. Ia mengambil sebotol air mineral besar, lalu meneguknya cepat, seperti kehausan. Ya, memang wajar, dia begitu lelah. Keringat berleleran di bajunya. Handuk di pundaknya basah kuyup. Topinya lembap.
"Ada, Bu. Tapi, tinggal satu hari. Ibu mau?" katanya menawarkan.