"Saya tidak ngapa-ngapain, Kak. Itu murni usaha Kakak sendiri. Kakak memang ganteng. Kakak pun pintar. Kakak juga sopan. Mengapa Kakak berterima kasih pada saya?"
Dia merapikan kerah kemeja putihnya. Dia menegakkan badan. Ada desahan napas terdengar.
"Lin," dia menyebut nama saya.
"Saya tidak mungkin menang lomba, jika kamu tidak ada."
"Apa sih, Kak. Maksud Kakak?"
Dia menempelkan telunjuknya pada bibir saya. Jantung saya berdetak kencang. Embusan angin datang melesat, membuat daun-daun di pohon saling bergesekan, bersuara begitu berisik. Beberapa tangkai kecil jatuh begitu saja ke tanah. Hati saya semakin gelisah.
Untuk apa kami berdua di sini sendirian? Bagaimana kalau dia tiba-tiba berbuat hal-hal yang tidak saya inginkan, meraba-raba tubuh saya, lalu memerkosa saya? Saya sebetulnya ingin menghentikan telunjuknya sebelum menyentuh bibir saya. Tetapi apa daya, hati ini serasa tidak mampu.Â
"Terima kasih untuk semua usahamu. Saya tahu, kamu terus mendukung saya."
"Kala itu, ketika lomba, dari panggung saya lihat matamu selalu memandang saya. Meskipun hujan gerimis turun, kamu tetap duduk di sana, di atas tanah yang mulai becek itu, lalu bertepuk tangan dan bersorak, berkata entah apa, tetapi saya merasakan seruanmu itu begitu serius mendukung saya. Matamu tidak bisa bohong, Lin."
Saya mengalihkan pandang ke atas pohon. Saya tidak berani menatap matanya. Pandangannya begitu hangat. Takut-takut hati saya yang perlahan bergelora ini tertangkap olehnya.
"Lin." Dia memegang wajah saya. Dia tolehkan tepat menghadap matanya.Â