Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pencarian Seorang Bapak

2 April 2021   15:43 Diperbarui: 2 April 2021   15:59 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak hal yang biasa dihadapinya sebagai sebuah angin lalu, masuk telinga kiri keluar telinga kanan, dalam pekerjaannya yang mau tidak mau terpaksa ia lakukan meskipun itu begitu hina dan selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya.

Mereka mengejeknya. Mereka mengucilkannya. Mereka mendiamkannya. Mereka menganggapnya tidak ada. Tidak hanya tetangga, tetapi sebagian keluarga besarnya pun sama. Mereka terus merendahkan, tanpa berusaha memberi atau mencarikan pekerjaan baginya untuk membuatnya sedikit mulia sebagai seorang wanita.

Ia juga sudah tahan banting terhadap penderitaan demi penderitaan yang dialaminya. Pernah ada seseorang setelah menggunakan jasanya, lari begitu saja tanpa membayar.

Pernah ia digilir beberapa orang yang tiba-tiba datang di luar perjanjian, dan ia diperlakukan seperti binatang. Pernah pula ia disekap berjam-jam, sebagai budak pemuas nafsu, tetapi hanya dibayar satu jam. Apalah daya dia sebagai wanita. Begitu lemah di hadapan para lelaki jalang.

Namun, ada satu hal yang begitu mengganggunya dan membuatnya risau beberapa hari, bahkan tidak tidur barang sebentar. Sebuah pertanyaan yang merasuki otaknya, menyerang setiap sel sarafnya, dan menghantuinya di mana pun ia berada.

"Ma, Bapak mana?" kata anak gadisnya yang sudah berumur enam tahun.

Awalnya ia berbohong. Ia berkata, bapaknya sedang pergi bekerja di luar kota, mencari uang baginya dan suatu saat akan pulang. Seiring pertumbuhan anaknya yang sekarang sudah masuk kelas satu SD, anaknya semakin kritis dan sadar bahwa ibunya hanya membual.

"Sebegitu lamakah bapak bekerja di sana dan tidak merindukan saya?" pikir anak itu suatu saat. Ia juga mulai tidak nyaman ketika ada teman sekolahnya mengejeknya. "Bapakmu mana? Kasihan ya, gak punya bapak!"

Wanita itu mulai berpikir, bagaimana ke depan anaknya. Apakah ia bisa bertahan menghadapi ejekan teman-temannya? Apakah mentalnya kuat dan bisa sepertinya menganggap itu hanya angin lalu yang tidak perlu dipikirkan dalam-dalam? 

Sepertinya semua harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Anak gadisnya terus merengek-rengek di rumah. Ia tidak mau sekolah. Ia malu di hadapan teman-temannya. Ia hanya ingin ketemu bapaknya.

Akhirnya, wanita itu berusaha mengingat-ingat, siapa saja yang telah menyetubuhinya enam tahun silam. Ia berusaha mencari mereka, hari demi hari, menggali informasi dari mana-mana, dan akhirnya hanya bisa menemukan tiga orang.

Dengan berdandan sebagai wanita karier, ia pergi menemui lelaki pertama. Seorang bos perusahaan minyak yang masih muda dan begitu tampan. Ia ingat, pelacuran dengannya terjadi di sebuah hotel mewah.

"Tanggung jawab kau! Anakmu sudah besar! Ia mencarimu!" katanya sambil menunjukkan foto anak gadisnya. Lelaki berjas hitam itu duduk di atas sofa. Ia memijat-mijat dahinya dan berpikir bagaimana menjawab wanita itu, yang masih diingat betul betapa semok dan aduhai tubuhnya dulu.

"Saya kan mengeluarkannya di luar," katanya begitu tegas.

"Tidak ada yang masuk ke vaginamu. Bagaimana bisa kau bilang saya menghamilimu?"

Wanita itu menatap tajam mata lelaki itu.

"Tapi bisa saja kan, secara tidak sadar, sedikit spermamu keluar dalam pantatku, sebelum kau mencabutnya?"

"Ah, tidak mungkin itu. Saya ingat betul, semua itu saya keluarkan di atas perutmu. Sudah, pergi sana! Jangan ganggu saya! Saya sibuk. Satpam, tolong usir dia dari sini," kata lelaki itu sambil menghubungi seseorang lewat telepon.

Wanita itu pulang dengan wajah sedih. Kurang ajar memang, mereka yang memanfaatkan dirinya dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi, ia tetap berusaha. Sepulang dari situ, ia pergi ke sebuah kedai kopi, yang tidak begitu jauh jaraknya. Seorang pemuda berambut pendek, begitu rapi, bercelemek cokelat, sedang mengocok minuman di tangannya.

"Apa kau tidak ingat, ia sudah besar. Kau harus tanggung jawab," kata wanita itu sedikit berteriak. Pemuda di depannya masih saja mengocok minuman. Ia menuangkan sedikit demi sedikit cairan itu ke dalam gelas, di atas meja. Ia tidak memandang wanita itu.

"Oi!" wanita itu memanggilnya. Pemuda itu menengok.

"Lin, mengapa kamu ke sini lagi? Kita sudah tidak ada hubungan. Apa kurang dulu bayaran saya?"

"Saya tidak butuh uangmu. Saya hanya butuh tanggung jawabmu. Ini anak kita sudah besar!" kata wanita itu juga sambil menunjukkan foto anaknya.

"Jangan mengada-ngada kau! Itu bukan anak saya. Spermaku kau telan dalam mulutmu. Bagaimana bisa kau menuntutku sebagai ayahnya?"

Wanita itu memukul meja. Beberapa gelas di atas meja sedikit bergeser.

"Bisa saja, spermamu masuk lewat kerongkonganku, terus turun ke bawah dan bertemu dengan sel telurku. Ayo kita ke dokter. Kita tes DNA. Kau harus tanggung jawab!"

Lelaki itu berhenti bekerja sejenak. Ia melipat tangannya di dada.

"Mana ada sperma bisa bertahan melawan asam lambungmu?"

"Pergi sana. Kau gila!"

Lelaki itu memanggil seseorang. Sekejap, seseorang berbadan kekar dan berseragam hitam menyeret wanita itu keluar. Terdengar embusan napas begitu panjang. Wanita itu begitu kecewa.

Lelaki-lelaki, mengapa kalian tidak berani bertanggung jawab? Bukannya lelaki seharusnya jantan dan tidak penakut? Betapa pengecut kalian! Berani berbuat tetapi lari dari kenyataan. 

Wanita itu mengelus-elus dadanya. Ia terus membesar-besarkan hatinya, menghibur dirinya, supaya tetap kuat dari penolakan dan penolakan. Demi anaknya, wanita itu masih berusaha mencari bapaknya.

Kali ini seorang lelaki tua berjenggot putih. Ia sedang tidur di atas becak. Wanita itu memukul pundaknya. Bapak itu terbangun.

"Pak, bapak harus tanggung jawab. Anak kita sudah besar. Ia mencari bapak!"

"Siapa ya?" jawab lelaki itu. Ia tidak ingat wanita di depannya. Rambutnya yang semuanya sudah memutih, membuatnya gampang lupa.

Wanita itu mengeluarkan sebuah foto. Foto seorang lelaki yang sedang menyetubuhinya. Bapak itu kaget melihat wajahnya ada di foto.

"Lin, tidak mungkin saya bapaknya. Kamu masak lupa? Saya tidak sempat keluar. Kita dulu digerebek petugas. Kau saja lari cepat-cepat, meninggalkan saya begitu saja."

Wanita itu mengerutkan dahi. Ia tiba-tiba ingat, memang suatu saat, pernah dalam pelacurannya, ia hampir ditangkap petugas. Apa dengannya? Perlahan ia menjadi yakin bahwa peristiwa itu memang terjadi dengannya, setelah melihat sebuah tompel hitam besar di pipi bapak itu.

Sepulang dari situ, wanita itu terus bersedih. Terus saja bersedih, pedih, membayangkan betapa suram anak gadisnya tanpa seorang bapak. Dalam air matanya, ia tetap berharap bisa menemukan bapaknya.

Kesedihannya pun sampai sekarang masih ada. Saya melihatnya dengan jelas. Ia menyendiri di sudut ruang ini, di tengah reunian teman-teman SMA kami. Kami sudah sepuluh tahun berpisah dan tidak menyangka bisa bertemu di sini. Ketika saya mendekatinya, saya heran, mengapa ia begitu mudah menceritakan itu semua, seolah-olah saya seseorang yang bisa dipercayai untuk menjaga rahasianya.

"Bagaimana kalau saya jadi bapaknya?" kata saya. Saya membelai pundaknya. Rambut hitam panjangnya masih saja indah seperti dulu. Bibirnya sedikit tersenyum. Sekali lagi, ia masih cantik seperti dulu.

"Kamu bercanda?"

"Tidak, saya tidak bercanda. Saya mau jadi bapaknya Sin."

Tiba-tiba matanya terbuka lebar. Ia menyeka air matanya yang dari tadi terus mengalir. Ia merasa tidak percaya akan perkataan saya.

"Saya akan jadi bapaknya. Secepatnya kita menikah," kata saya.

Saya tidak bisa memungkirinya. Saya masih mencintainya. Wanita yang dulu membuat saya berhenti bunuh diri. Wanita yang dulu, selalu hadir dalam hati saya. Sampai sekarang, masih saja hadir.

...

Jakarta

2 April 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun